Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI - Part I

Berikut ini adalah beberapa fatwa yang sudah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional MUI, diantaranya adalah :

1. Fatwa Giro
2. Fatwa Tabungan
3. Fatwa Deposito
4. Fatwa Murabahah
5. Fatwa Salam
6. Fatwa Istisna’
7. Fatwa Pembiayaan Mudharabah
8. Fatwa Pembiayaan Musyarakah
9. Fatwa Pembiayaan Ijarah
10. Fatwa Wakalah
11. Fatwa Hawalah
12. Fatwa Kafalah
13. Fatwa Uang Muka Dalam Murabahah
14. Fatwa Sistem Distribusi Hasil Usaha Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah
15. Fatwa Diskon Dalam Murabahah
16. Fatwa Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran
17. Fatwa Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif Dalam Lembaga Keuangan Syari'ah
18. Fatwa Qardh
19. Fatwa Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syari'ah
20. Fatwa Jual Beli Istishna' Paralel

Download aja fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional supaya temen-temen tau bagaimana ketentuan yang tlah ditetapkan oleh para ulama, fatwa-fatwa di atas hanya sebagian dari fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan, mungkin di postingan selanjutnya akan saya tambahkan lagi fatwa-fatwa yang lainnya..
Download aja semuanya disini.

al-Mudharabah

1. Pengertian al-mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharaba – yadhribu – dharban, yang berarti memukul atau berjalan. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian diakibatkan oleh kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka dia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

2. Landasan Syariah

Secara umum, landasan dasar syariah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadits berikut ini :
QS. Al-Muzzammil : 20
“…dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian dari karunia Allah SWT…”
Yang menjadi argument dari surah al-muzzammil: 20 adalah adanya kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.
Adapun landasan haditsnya, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rosulullah saw. Dan beliau pun membolehkannya.” (HR Thabrani)
Dalam riwayat lain, dari Shalih bin Shuhaib r.a. bahwa Rosulullah saw. Bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah no. 2280, kitab at-Tijaroh)

3. Jenis al-mudharabah

Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.

a. Mudharabah Muthlaqoh

Yang dimaksud dengan mudharabah jenis ini adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal kepada mudharib yang memberikan kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqoh. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.

4. Aplikasi dalam Perbankan

Al-mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada :
a) Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya; deposito biasa;
b) Deposito special, di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk :
a) Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b) Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.

5. Manfaat al-mudharabah

1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikandengan arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman, menguntungkan, karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil dalam al-mudharabah/al-musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Risiko al-mudharabah

Risiko yang terdapat dalam al-mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi. Diantaranya :
1) Side streaming; nasabah menggunakan dana itu bukan untuk seperti yang disebut dalam kontrak,
2) Lalai dan kesalahan yang disengaja,
3) Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

Referensi : Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik

Kedudukan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia

Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945 M/10 Ramadhan 1367 H, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Dasarnya menyatakan diri sebagai negara hukum. Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dimandemen, pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan: “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).” “Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub dalam BAB I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Permasalahannya sekarang, adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” dalam kalimat “Negara Indonesia adalah negara hukum,” itu termasuk di dalamnya hukum tidak terulis ? Ilmu hukum memang mengajarkan kepada kita tentang keberadaan hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Tetapi dalam kenyataannya, hukum modern dewasa ini tampak lebih mengacu atau bahkan lebih berpihak kepada hukum terutulis (codified law) dibandingkan dengan sekedar pengakuan apalagi keberpihakannya kepada praktek hukum tidak tertulis (uncodified law).

Mengingat keberadaan hukum tertulis jauh lebih dominan dibandingkan dengan keberadaan hukum tidak tertulis, maka pendapat yang memandang cukup pengamalan hukum Islam dengan pendekatan kultural (tanpa harus dengan legal-formal), agaknya sudah kurang relevan untuk dipertahankan. Sekurang-kurangnya dalam bidang-bidang hukum tertentu semisal hukum ekonomi Islam yang tengah dibincangkan.
Pengamalan atau penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legislasi nasional dewasa ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi Islam/Syariah dipandang sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut; juga mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan.
Senafas dengan beberapa pemikiran di atas, dapatlah dikemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam di Indonesia semakin terasa penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi Islam dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara sekalipun.
Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dibentuk, bahkan jauh sebelum para penjajah mengangkangi wilayah nusantara – apapun sebutan atau namanya ketika itu –, negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai kini. Sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu, hukum ekonomi Islam dalam konteksnya yang sangat luas pernah berlaku dan paling tidak sebagian daripadanya masih tetap diberlakukan sampai sekarang ini.
Sistem bagi hasil dalam bentuk paroan/memaro dan lain-lain dalam bidang pertanian, peternakan dan sebagainya yang dikenal luas di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa, merupakan salah satu bukti konkret bagi keberlakuakn atau diberlakukannya hukum ekonomi Islam di nusantara tempo dulu. Demikian pula dengan simbol-simbol transaksi perdagangan di sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab-mazhab fikih yang dikenal masyarakat.
Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam. Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajaran bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi Islam di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan “diktator mayoritas” dan atau “tirani minoritas.” Alasannya, karena penerapan hukum ekonomi Islam tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi Konvensional.
Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif lembaga-lembaga keuangan dan lembaga-lembaga ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi Syariah. Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan bersinergi antara lembaga ekonomi/keuangan Konvensional dengan lembaga ekonomi/keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa lembaga ekonmi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu nama-nama lembaga keuangan khususnya bank di samping lembaga-lembaga keuangan non bank lainnya yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan Syariah.
Di negara hukum Indonesia, kedudukan/posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya sangatlah kuat sebagaimana kedudukan/posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan. Demikian pula dengan signifikansi fungsi/peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam meopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.
Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesngguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kedudukan hukum ekonomi Islam/Syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia baik bagian Pembukaan (preambule) yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat: “… Dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33 dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.

sumber : zonaekis.com

Pandangan Islam Mengenai Bisnis di Dunia Maya

Bisnis online atau dalam wajah lain dkenal dengan istilah bisnis maya pada dasarnya sama seperti bisnis offline. Ada yang halal ada yang haram, ada yang legal ada yang ilegal. Hukum dasar bisnis online sama seperti akad jual beli dan akad as-salam, ini diperbolehkan dalam Islam. Adapun keharaman bisnis online karena beberapa sebab :
1) Sistemnya haram, seperti money gambling. Judi itu haram baik di darat maupun di udara (online)
2) Barang/jasa yang menjadi objek transaksi adalah barang yang diharamkan, seperti narkoba, video porno, online sex, pelanggaran hak cipta, situs-situs yang bisa membawa pengunjung ke dalam perzinaan dan kerusakan.
3) Karena melanggar perjanjian atau mengandung unsur penipuan.
4) Dan lainnya yang tidak membawa kemanfaatan tapi justru mengakibatkan kemudharatan.
Ketika kita terjun ke bisnis online, banyak sekali godaan dan tantangan bagaimana kita harus berbisnis sesuai dengan koridor Islam. Maka dari itu kita harus lebih berhati-hati. Jangan karena ingin mendapat dolar yang banyak lalu menghalalkan segala macam cara. Selama kita berbisnis online sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan bermanfaat bagi orang lain, insya Allah uang yang didapat akan berkah.
Sebagaima telah disebutkan, didengungkan dan dpapatkan dalam setiap makalah, tulisan dan karya-karya ilmah bisnis lainnya bahwa hukum asal mu’amalah adalah al-ibaahah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya. Namun demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Sebagai pijakan dalam berbisnis online, kita harus memperhatikan hal di bawah ini.
Transaksi online diperbolehkan menurut Islam selama tidak mengandung unsur-unsur yang dapat merusaknya seperti riba, kezhaliman, penipuan, kecurangan dan yang sejenisnya serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat didalam jual belinya.
Rukun-Rukun Jual Beli Menurut Jumhur Ulama :
1. Ada penjual.
2. Ada pembeli.
3. Ijab Kabul.
4. Barang yang diakadkan. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz V hal 3309)
Syarat-Syarat Sah Jual Beli itu adalah :
1. Syarat-syarat pelaku akad : bagi pelaku akad disyaratkan, berakal dan memiliki kemampuan memilih. Jadi orang gila, orang mabuk, dan anak kecil (yang belum bisa membedakan) tidak bisa dinyatakan sah.
2. Syarat-syarat barang yang diakadkan :
* Suci (halal dan baik).
* Bermanfaat.
* Milik orang yang melakukan akad.
* Mampu diserahkan oleh pelaku akad.
* Mengetahui status barang (kualitas, kuantitas, jenis dan lain-lain)
* Barang tersebut dapat diterima oleh pihak yang melakukan akad. (Fiqih Sunnah Juz III hal 123)
Hal yang perlu juga diperhatikan oleh konsumen dalam bertransaksi adalah memastikan bahwa barang/jasa yang akan dibelinya sesuai dengan yang disifatkan oleh si penjual sehingga tidak menimbulkan perselisihan di kemudian hari.
Transaksi online dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi as-salam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh untuk diperdagangkan sesuai syariat Islam

sumber : http://zonaekis.com/pandangan-islam-mengenai-bisnis-di-dunia-maya

Etika Bisnis Islami

Etika memiliki dua pengertian: Pertama, etika sebagaimana moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupan. Kedua, etika sebagai refleksi kritis dan rasional. Etika membantu manusia bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung-jawabkan. Sedangkan bisnis mengutip Straub, Alimin (2004: 56), sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.
Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebaginya. Bisnis yang beretika adalah bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati.
Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:188, 4:29).
Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Ciri-ciri itu masih ditambah Istiqamah.
Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (berbagai sumber).
Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks corporate social responsibility (CSR), para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong.
Pelaku usaha/pihak perusahaan harus memiliki amanah dengan menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat.
Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri.

Sumber : http://zonaekis.com/etika-bisnis-islami

Hukum Kredit Dalam Pandangan Ekonomi Islam

Bunga adalah hal yang telah disepakati keharamannya oleh semua lapis umat Islam. Sebab bunga itu dengan mudah bisa dibedakan dengan jual beli yang halal. Betapapun kecil bunga yang dikenakan, tetaplah bunga dan Allah SWT telah mengharamkannya.

Sebab keberadaan bunga itu memang wujud dari riba itu sendiri, yang didalam Al-Quran Al-Kariem telah disebutkan harus ditinggalkan sekecil-kecilnya.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. (QS.Al-Baqarah : 278)

Sedangkan fasilitas kredit itu sendiri hukumnya tergantung dari bagaimana anatomi sistemnya. Bila masih terdapat unsur bunga ribawi, maka menjadi haram. Sedangkan bila murni akad kredit yang syar’i, maka hukumnya halal.

Kredit dibolehkan dalam hukum jual beli secara Islami. Kredit adalah membeli barang dengan harga yang berbeda antara pembayaran dalam bentuk tunai tunai dengan bila dengan tenggang waktu. Ini dikenal dengan istilah : bai` bit taqshid atau bai` bits-tsaman `ajil. Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang (x) dengan harga yang sudah dipastikan nilainya (y) dengan masa pembayaran (pelunasan) (z) bulan.

Harga harus disepakati di awal transaksi meskipun pelunasannya dilakukan kemudian.

Contoh 1: Ahmad menawarkan sepeda motor pada Budi dengan harga rp. 12 juta. Karena Budi tidak punya uang tunai Rp.12 juta, maka dia minta pembayaran dicicil (kredit). Untuk itu Ahmad minta harganya menjadi Rp. 18 juta yang harus dilunasi dalam waktu 3 tahun. Harga Rp. 18 juta tidak berdasarkan bunga yang ditetapkan sekian persen, tetapi merupakan kesepakatan harga sejak awal. Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam.

Contoh 2: Ali menawarkan sepeda motor kepada Iwan dengan harga Rp. 12 juta. Iwan membayar dengan cicilan dengan ketentuan bahwa setiap bulan dia terkena bunga 2 % dari Rp. 12 juta atau dari sisa uang yang belum dibayarkan. Transaksi seperti ini adalah riba, karena kedua belah pihak tidak menyepakati harga dengan pasti, tetapi harganya tergantung dengan besar bunga dan masa cicilan. Yang seperti ini jelas haram.

Al-Qaradawi dalam buku HALAL HARAM mengatakan bahwa menjual kredit dengan menaikkan harga diperkenan-kan. Rasulullah s.a.w. sendiri pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo untuk nafkah keluarganya.

Ada sementar pendapat yang mengatakan bahwa bila si penjual itu menaikkan harga karena temponya, sebagaimana yang kini biasa dilakukan oleh para pedagang yang menjual dengan kredit, maka haram hukumnya dengan dasar bahwa tambahan harga itu berhubung masalah waktu dan itu sama dengan riba.

Tetapi jumhur (mayoritas) ulama membolehkan jual beli kretdit ini, karena pada asalnya boleh dan nash yang mengharamkannya tidak ada. Jual beli kredit tidak bisa dipersamakan dengan riba dari segi manapun. Oleh karena itu seorang pedagang boleh menaikkan harga menurut yang pantas, selama tidak sampai kepada batas pemerkosaan dan kezaliman. Kalau sampai terjadi demikian, maka jelas hukumnya haram.

Imam Syaukani berkata: “Ulama Syafi’iyah, Hanafiyah, Zaid bin Ali, al-Muayyid billah dan Jumhur berpendapat boleh berdasar umumnya dalil yang menetapkan boleh. Dan inilah yang kiranya lebih tepat.”

sumber : http://www.koperasisyariah.com

Analisis tambahan Tentang MLM: Mengenai Samsarah dan Dua akad dalam satu akad

Seri terakhir kajian Fiqh Muammalah mengenai MLM

Samsarah

Samsarah berarti perantara antara penjual dengan pembeli untuk melangsungkan jual beli (Al Albani et al, 2009:409). Samsarah terdapat dua macam yaitu perantara sesama warga perkotaan, dimana hukumnya adalah boleh dan upah pelakunya halal. Yang keduanya adalah orang kota bertindak sebagai perantara orang desa dalam menjual barangnya, yang ini diharamkan.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:
Rasulullah saw. melarang pencegatan kafilah barang dan penjualan orang kota kepada orang desa (badui). (Shahih Muslim No.2798)
Dalam sarahnya, Badri (2008:90) menyatakan bahwa rasulullah melarang perbuatan ini karena akan merugikan masyarakat banyak, sebab pedagang yang kota yang menghadang barang niaga orang-orang kampung, dikuatirkan pedagang tersebut akan menjual dengan harga sangat mahaldi pasar atau di kota.
Dalam perusahaan MLM penjualan yang dilakukan adalah dengan menggunakan orang kota dengan orang kota, atau orang desa dengan orang desa, sehingga praktek ini diperbolehkan. Bilapun ada transaksi antara orang kota dengan orang desa, biasanya produk MLM sudah ada harga yang pasti, dengan komisi yang pasti sehingga dapat dipastikan konsumen tidak dirugikan mengingat harga dan komisi barangnya sudah pasti tertera ada pada tabel.
Dua akad dalam satu akad
Dua akad dalam satu akad dapat berarti pula dua jual beli dalam satu jual beli. Hal ini dilarang dalam transaksi jual beli. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa nabi pernah bersabda ( al-Albani et al, 2006:461) :
Nabi melarang dua jual beli dalam satu jual beli (HR at Tarmidzi dan yang lainnya)
Dari hadist diatas jumhur ahli fikh dari kalangan sahabat, tabiin dan para imam mujtahud menyatakan ulama menyatakan bahwa dua jual beli dalam satu jual beli adalah batil dan merusak. Misalnya pada penjualan barang dengan menggunakan harga tempo (kredit) atau harga tunai. Pada keadaan ini ternyata sang pembeli dan penjual tidak memutuskan apakah barang tersebut dijual dalam keadaan tunai atau tempo, dan sudah terjadi transaksi (transaksi tidak jelas apakah tempo atau tunai). Ini jalan batil dan merusak. Namun ada pengertian dari kalangan jumhur dan sekelompok ulama bahwa bila dari penjual dan pembeli sepakat mengambil salah satu akad (salah satu harga) sebelum berpisah, maka hal ini diperbolehkan (al-Albani et al, 2006:461).
Persoalan ini juga banyak dibahas dalam praktek simsar (perantara) pada dunia MLM biasa maupun MLM syariah. Apakah usaha MLM merupakan praktek simsar dua akad dalam satu akad ? Pekerjaan samsarah/simsar berupa makelar, distributor, agen dan sebagainya dalam fiqih Islam adalah termasuk akad ijarah, yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya, para ulama seperti Ibnu ‘Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, ‘Atha, Ibrahim, memandang boleh jasa ini. (Fiqh As-Sunnah, III/159). Landasan syara mengenai ijarah adalah berdasarkan Al Quran, As Sunnah dan ijma para ulama :
Dalam kitab Al Quran, Allah berfirman :

… kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; … (Surat Thalaq : 6)
Dalam kitab As Sunnah
Berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Umar)
Dalam Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma bahwa ijarah dibolehkan sebab membawa manfaat bagi manusia (Syafei, 2001:124)
Namun untuk sahnya pekerjaan makelar ini harus memenuhi beberapa syarat disamping persyaratan diatas, antara lain sebagai berikut (Farid, 2007) :
1. Perjanjian jelas kedua belah pihak. (An-Nisa: 29)
2. Obyek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Obyek akad bukan hal-hal yang maksiat atau haram. Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat.
Pada praktek perusahaan MLM selalu memiliki owner (pemilik perusahaan dan pemilik barang) kemudian upline yang mengiformasikan sejumlah produk atau jasa kepada kepada down line 1, kepada dowline 2 dan seterusnya. Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian, sesuai dengan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (perjanjian-perjanjian) itu.” (Al-Maidah:1) dan juga hadits Nabi: “orang-orang Islam itu terikat dengan perjanjian-perjanjian mereka.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim dari Abu Hurairah).
Pada praktek MLM yang menggunakan produk halal, ada beberapa kalangan yang melihat bahwa walaupun produk halal, namun tidak lepas dari sistem yang digunakan. Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain. Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al-mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran. Sehingga akad dalam sistem MLM yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram (Abdurahman, 2007).
Penulis tidak melihat bahwa makelar atas makelar adalah hal yang dilarang dalam fikh Islam. Ini tidak dilarang mengingat dalam jual beli sering terjadi sesuatu yang kompleks sehingga dibutuhkan lebih dari satu makelar untuk mendapatkan suatu barang. Tidak mungkin dalam kegiatan usaha bisnis yang makin kompleks, seseorang hanya mengandalkan satu makelar saja, karena bila ini wajib dilakukan, berapa banyak usaha yang tidak berjalan, mengingat seringkali di lapangan kita menemukan seseorang yang dapat membantu usaha, berasal dari beberapa teman atau makelar. Begitu pula pada pekerjaan proyek besar biasanya juga membutuhkan makelar atau sub kontraktor sebelum mengerjakan sesuatu. Yang sangat perlu diperhatikan dalam praktek samsarah adalah produknya halal dan sistemnya halal, serta tidak ada penipuan. Mengapa penulis menekankan pada penipuan ? Karena kadang dalam usaha untuk mendapatkan level tertentu, para anggota memberikan harapan yang berlebihan dan dikuatirkan pada masuk pada pembicaraan yang tidak jujur. Oleh karena itu dalam transaksi harus dipenuhi akad-akadnya, misalnya ada akad perjanjian secara tertulis. Dalil dalam analisis ini adalah (Al Maidah :1) :

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …
Pada posisi makelar (calo, atau perantara) dan mendapatkan keuntungan dalam Islam itu boleh (Qhardhawi, 2008:249), tapi yang terjadi dalam MLM adalah makelar memakelari makelar. Sekali lagi disebutkan bahwa ini tidak sesuai dengan definisi makelar yang disampaikan para ulama, yang memberikan pengertian bahwa makelar adalah perantara antara produsen / pemilik dengan konsumen.
Pendapat ini tentu bisa benar. Namun demikian definisi yang diberikan para ulama adalah waktu itu belumlah menyentuh keadaan perdagangan saat ini yang demikian rumit dan modern, apalagi saat itu belum ada perusahaan dengan menggunakan sistem MLM seperti saat ini. Keadaan saat itu tentu tidak sesuai dengan keadaan sekarang saat ini. Apalagi bisnis MLM tidak mempunyai bentuk baku dan tidak hanya satu dimana masing-masing punya spesifikasi tertentu yang bisa saja berbeda dari yang kita bayangkan. Demikian pula pemahaman tentang satu akad dua transaksi sebagaimana dalam hadits, tidak hanya ada satu penafsiran yang disepakati menurut ulama. Dan tidak pula ada nash yang melarang adanya makelar bertingkat. Ustadz Kholiq dari Hidayatullah (2009) berpendapat bahwa hukum MLM tidak bisa dipukul rata, tetapi perlu pemilahan, sekaligus memperhatikan unsur-unsur lain seperti penipuan dengan janji-janji dan iming-iming cepat kaya, kemudahan mendapat bonus dan lain-lain. Juga adakah unsur money game (diharamkan) di sana, di mana perusahaan sebenarnya memberi komisi itu berasal dari hasil uang pendaftaran anggota baru.
Dengan demikian menurut hemat penulis, bahwa kegiatan perantara (calo) dalam MLM adalah diperboleh selama memenuhi kaidah syariat dan persyaratan jual beli yang telah dibahas oleh penulis sebelumnya. Namun demikian dalam memilih usaha, tetap seorang muslim bersikap sangat hati-hati, selektif, tidak gegabah untuk menumbuh kembangkan tubuhnya, istri dan anak-anaknya kecuali dari sesuatu yang jelas halalnya. Wallahu a’lam bis shawab

Oleh : Agung Wahyudi B., MM

Sumber Asal : Media skripsi

Zonaekis.com

Analisis Fiqh mengenai Produk yang digunakan MLM

Seorang muslim harus menghindari produk haram, karena ini dilarang oleh Allah SWT dan rasulnya. Segala macam produk makanan dan minuman termasuk yang diproduksi oleh perusahaan MLM, harus halal dan tidak ada keragu-raguan mengenai produk tersebut. Dalam hadistnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :
Dari Abu Hurairoh radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rosul, Allah berfirman, “Wahai para Rosul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal sholih” (QS Al Mukminun: 51). Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu” (QS Al Baqoroh: 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Robbku, wahai Robbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.” (HR. Muslim)
Al Bugha dan Mistu (2009:77) menyatakan bahwa hadist ini merupakan dasar dari berbagai hukum Islam, yang berkaitan dengan memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram. Dengan hadist ini maka akan didapatkan manfaat yang luas di masyarakat. Bila masyarakat mengkonsumsi yang halal maka akan tercipta kasih sayang, doanya mudah terkabul, kebagusan beribadah, tidak ada dendam, iri, saling tipu bahkan mencuri. Hadits ini merupakan salah satu ashlud din (pokok agama), di mana kebanyakan hukum syariat berporos pada hadits tersebut. Thayyib adalah suci, tidak ada kekurangan dan cela. Demikian juga Allah, Dia itu thayyib. Dia suci, tidak ada kekurangan dan cela pada diri-Nya. Dia sempurna dalam seluruh sisi. Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang thoyyib. Thayyib dalam aqidah, thayyib dalam perkataan dan thayyib dalam perbuatan. Tidak menerima artinya tidak ridho, atau tidak memberi pahala. Dan ketidakridhoan Allah terhadap sebuah amal biasanya melazimkan tidak memberi pahala pada amalan tersebut. Mengkonsumsi sesuatu yang thayyib merupakan karakteristik para rasul dan kaum mukminin. Makanan yang thayyib sangat berpengaruh terhadap kebagusan ibadah, terkabulnya doa dan diterimanya amal. Oleh sebab itu umat Islam selalu waspada agar tidak mengkonsumsi makanan yang haram, karena ini sangat merugikan bagi perusahaan MLM dan non MLM.
Umat muslim juga sebaiknya menghindari diri dari menjalankan perusahaan yang memusuhi Islam baik secara langsung atau pun tidak langsung. Perusahaan tersebut dapat dilihat pada web site http://warlockcomet.page.tl/Daftar-Boikot-Produk-US-dan-Israel.htm. Perhatikan apakah perusahaan tersebut anak perusahaan atau ada kerja sama dengan dengan perusahaan yang menjadi donatur musuh Islam dan keuntungannya bisinis ini malah digunakan untuk membunuh saudara-saudara muslim di belahan bumi lainnya, misalnya di Palestina.
3. Analisis mengenai sisi Marketing Dan Etika Penawaran
Menurut Syarwat (2009) hal yang paling rawan dalam pemasaran gaya MLM ini adalah dinding yang teramat tipis antara kejujuran dan dengan dusta. Biasanya, orang-orang yang diprospek itu diberikan dengan beragam tujuan untuk menjadi kaya dan berhasil dalam waktu singkat, atau bisa punya rumah real estate, mobil mewah, apartemen mahal, kapal pesiar besar dan ribuan mimpi lainnya. Dengan rumus hitung-hitungan yang dibuat seperti masuk akal, akhirnya banyak yang terbuai dan meninggalkan profesi sejatinya atau yang kita kenal dengan istilah `pensiun dini`. MLM dikenalkan sebagai bisnis yang menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan banyak uang dibandingkan dengan bisnis lain maupun pekerjaan lain.
Menarik apa yang dikatakan ahli ekonomi syariah Utomo (2009) bahwa perlu dipelajari lebih lanjut, bahwa bagi hampir semua orang yang menanamkan uang, MLM berakhir dengan hilangnya uang. Kurang dari 1% distributor MLM mendapatkan laba dan mereka yang mendapatkan pendapatan seumur hidup dalam bisnis ini persentasenya jauh lebih kecil lagi. Cara pemasaran dan penjualan yang tidak lazim menjadi penyebab utama kegagalan ini. Namun, kalau bisnis ini lebih berkelayakan, perhitungan matematis pasti akan membatasi terjadinya peluang sukses tersebut. Tipe struktur bisnis MLM sesungguhnya adalah berupa piramid hanya dapat menopang sejumlah sangat kecil pemenang. Jika seseorang memerlukan downline sejumlah 1000 orang agar dia memperoleh pendapatan seumur hidup, maka 1.000 orang downline tadi akan memerlukan 1.000.000 orang untuk bisa memperoleh kesempatan yang sama. Jadi, berapa orang yang secara realistis bisa diajak bergabung ?
Syarwat (2009) menyatakan bila objeknya itu orang kurang mampu yang hidupnya sedang kurang mencukupi, maka semakin menjadilah mimpi tersebut berlebihan, sama dengan halnya dengan mimpi menjadi tokoh-tokoh dalam dunia sinetron TV yang tidak pernah menjadi kenyataan. Simbol-simbol kekayaan seperti memakai jas dan dasi, pertemuan di gedung mewah atau ke mana-mana naik mobil seringkali menjadi jurus pemasaran. Sebagai upaya pencitraan diri bahwa seorang distributor itu sudah makmur diduga terasa dipaksakan. Bahkan istilah yang digunakan pun bukan sales, tetapi manager atau general manager atau istilah-istilah lain yang punya citra bahwa dirinya adalah orang penting di dalam perusahaan besar.
Menurut analisis penulis sesungguhnya tidak ada yang salah dalam membeli mobil baru, apalagi itu digunakan untuk menunjang bisnisnya, baik pada perusahaan MLM atau non MLM. Namun yang menjadi masalah adalah bila nilainya dan cicilannya berlebihan, dan ia hanya berhitung pada masa jayanya, namun kurang berhitung tepat pada keadaan yang tidak menguntungkan. Ingatlah sesungguhnya Allah tidak suka orang yang berlebihan lagi membanggakan diri (At Takaatsur 1):

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
Ada kecenderungan bahwa masyarakat awam yang kurang luas wawasannya, dapat terlena. Sering pula penggunaan dalil yang tidak pada tempatnya untuk melegalkan MLM. Seperti sering kita dengar banyak orang yang membuat keterangan yang kurang tepat. Misalnya bahwa Rasulullah SAW itu profesinya adalah pedagang. Sesungguhnya yang benar adalah beliau memang pernah berdagang dan ketika masih kecil memang pernah diajak berdagang. Keadaan ini terjadi sebelum beliau diangkat menjadi Nabi oleh Allah SWT pada usia 40 tahun. Namun setelah menjadi nabi, beliau tidak lagi menjadi pedagang. Pemasukan (ma`isyah) beliau adalah dari harta rampasan perang / ghanimah, bukan dari hasil jualan atau menawarkan barang dagangan, juga bukan dengan sistem MLM. Lagi pula kalaulah sebelum jadi nabi beliau pernah berdagang, jelas-jelas sistemnya bukan sistem seperti perusahaan MLM, karena memang tidak ada perusahaan tersebut di masa rasulullah.

Masih ada pembahasan berikutnya yang akan kami tayangkan di artikel berikutnya,

sumber : zonaekis

Hukum Dasar dari sistem MLM

Kelanjutan Dari Kajian Fiqh Muammalah tentang MLM seri 2

Suatu perusahaan pada dasarnya didirikan bertujuan untuk mendapat keuntungan setinggi-tingginya dengan sejumlah modal tertentu yang diinvestasikan. Keuntungan ini haruslah didapat dengan cara yang halal, tidak beroperasi dengan cara riba, tidak ada indikasi gharar (penipuan), dan lain-lain. Pada perusahaan MLM sistem pemasaran yang dilakukan adalah dengan sistem berjenjang yang melibatkan anggota-anggotanya, sehingga jalur distribusi diperpendek. Dengan jalur distribusi diperpendek, maka diharapkan sebagian keuntungan dari produk / jasa dapat masuk ke anggotanya. Sebenarnya tidak ada yang salah dalam urusan transaksi, selama MLM itu bersih dari unsur terlarang seperti riba, gharar, dharar dan jahalah. MLM sendiri masuk dalam bab Muamalat, yang pada dasarnya mubah atau boleh. Merujuk kepada kaidah Qowaid fiqh yaitu Al-Aslu fil Asy-yai Al-Ibahah (Syarwat, 2009). Hukum segala sesuatu itu pada asalnya adalah boleh. Dalam hal ini maksudnya adalah dalam masalah muamalat. Sampai nanti ada hal-hal yang ternyata dilarang atau diharamkan dalam syariah Islam. Misalnya bila di dalam sebuah MLM itu ternyata terdapat indikasi riba`, misalnya dalam memutar dana yang terkumpul. Atau ada indikasi terjadinya gharar atau penipuan baik kepada down line ataupun kepada upline. Atau mungkin juga terjadi dharar yaitu hal-hal yang membahayakan, merugikan atau menzhalimi pihak lain, entah dengan mencelakakan dan menyusahkan. Dan tidak tertutup kemungkinan ternyata ada unsur jahalah atau ketidak-transparanan dalam sistem dan aturan. Oleh karena itu menurut penulis, seseorang tidak bisa langsung menuduh bahwa perusahaan MLM itu halal atau haram, sebelum diperiksa hati-hati dengan pendekatan analisis syariah.
Ada prinsipnya semua usaha bisnis, termasuk yang menggunakan sistem MLM dalam literatur syari’ah Islam termasuk kategori muamalat yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (penjualan). Al Buyu’ adalah dalam bentuk jamak dari al-ba’i yang merupakan kata dasar penjualan, sedangkan menjual (pria) adalah yabii’ (Munawwir dan Muhammad, 2007:368). Selanjutnya Bassam (2010:699), mendefinisikan al-ba’i dalam terminology bahasa adalah mengambil sesuatu dan memberikan sesuatu. Mereka telah mengambil sesuatu dari penjual yang mengukurkan tangannya baik dengan tujuan untuk akad atau menyerahkan sesuatu yang telah disepakati harga dan barangnya. Lafazh al Ba’i juga digunakan pada pembelian dan ini merupakan lawan kata, begitu pula dengan syira (pembelian) juga termasuk lawan kata. Definisi secara istilah adalah pertukaran harta dengan harta dengan maksud untuk memiliki yang ditunjukkan melalui sighat berupa ucapan dan perbuatan.
Hukum awal secara prinsip dari seluruh transaksi muamalah, bermacam-macam jenis perdagangan dan sumber penghasilan adalah halal dan boleh, dan tidak ada boleh yang melarangnya kecuali yang telah diharamkan oleh Allah dan rasulnya (Bassam, 2009:700). Berikut dalil dari jual beli (Al-Albani et al, 2010:371) :
a. Dalil Al Quran :

: … “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al-Baqarah:275).

: …”Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli… ( Al Baqarah : 282)

29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa’:29)
b. Dalil dari As Sunnah
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Penjual dan pembeli, masing-masing mempunyai hak pilih (untuk mengesahkan transaksi atau membatalkannya) atas pihak lain selama belum berpisah, kecuali jual beli khiyar (kesepakatan memperpanjang masa hak pilih sampai setelah berpisah). (Shahih Muslim No.2821)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang muslim menawar atas penawaran saudaranya. (Shahih Muslim No.2788)
Hadis riwayat Hakim bin Hizam ra.:
Dari Nabi saw. beliau bersabda: Penjual dan pembeli memiliki hak pilih selama belum berpisah. Apabila mereka jujur dan mau menerangkan (keadaan barang), mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Dan jika mereka bohong dan menutupi (cacat barang), akan dihapuskan keberkahan jual beli mereka. (Shahih Muslim No.2825)
Demikian dalil dasar mengenai jual beli, dan masih banyak lagi dalil yang membolehkan jual beli, termasuk perusahaan MLM. Namun demikian nilai jual beli ini juga harus memenuhi unsur syariah yaitu bebas dari unsur-unsur haram di antaranya (Utomo, 2009) :
> Riba (Transaksi Keuangan Berbasis Bunga); Dari Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda: “Riba itu memiliki tujuh puluh tiga pintu yang paling ringan adalah semacam dosa seseorang yang berzina dengan ibunya sendiri” (HR. Ahmad 15/69/230, lihat Shahihul Jami 3375.
> Gharar (Kontrak yang tidak Lengkap dan Jelas); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melarang jual beli gharar”. (HR. Muslim 1513)
> Tadlis/Ghisy (Penipuan); Dari Abu Hurairah ra. berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam melewati seseorang yang menjual makanan, maka beliau memasukkan tangannya pada makanan tersebut, ternyata beliau tertipu. Maka beliau bersabda, “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu”. (HR. Muslim 1/99/102, Abu Daud 3435, Ibnu Majah 2224)
> Perjudian (Maysir atau Transaksi Spekulatif Tinggi yang tidak terkait dengan Produktivitas Riil); Firman Allah Taala:
“Hai orang-orang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib, adalah perbuatan syaithan maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung.” (Al-Maidah: 90)
> Zhulm (Kezhaliman dan Eksploitatif). Firman Allah surat An-Nisa:29 :
29. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu ; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Kajian Kholid (2009:33) juga menyatakan terdapat beberapa kelemahan dalam sistem piramid ini. Pertama adalah ia menemukan bahwa sistem ini tidak akan langgeng atau kontinyu, karena akan menemukan antiklimaks dan kemudian berhenti. Apabila ia berhenti maka level terbawah adalah yang rugi sedangkan level masih untung banyak. Padahal jumlah orang yang terlibat dalam level bawah lebih banyak daripada level atas.
Oleh karena itu ia menyatakan bahwa sistem MLM ini pada dasarnya adalah tadlis (penipuan) dan taghrir (sesuatu yang memperdaya), serta jual beli semu pada mayoritas anggota, untuk kesejahteraan minoritas up line dan pemilik perusahaan.
Pada table yang penulis pernah temukan di internet terlihat bahwa anggota MLM pada level 1, jumlah member 4, maka total bonus yang didapat Rp. 20.000. Kemudian pada level 5 misalnya, jumlah anggota 1024 maka bonusnya adalah Rp. 5.120.000, dan selanjutnya pada level 16 jumlah anggota mencapai 4 milyar, atau sekitar ½ lebih penduduk bumi, hingga pada level 17 jumlah anggota mencapai 17 milyar (dengan bonus sekian trilyun), yang tentu saja belum mencapai penduduk bumi, yang artinya bisnis ini akan berhenti. Apabila ini terjadi maka down line terbawah tidak dapat mereliasasikan mimpi-mimpi mereka, tetapi yang sangat beruntung adalah level yang lebih dulu masuk atau segelintir level atas. Apakah ini tidak terfikirkan bahwa pasti ada level bawah yang tidak beruntung dibandingkan dengan level atas ? Lalu apakah Fulan yang berada di level atas (pada saat perusahaan MLM tutup) tenang-tenang saja, dengan berkata bahwa “Salah sendiri kenapa baru masuk jadi anggota setelah kita sudah kaya ?” Lalu, bagaimana dengan janji yang telah ditanamkan, bagaimana dengan sejumlah dana yang telah disetorkan padahal level bawah belum menikmati keuntungannya, sedangkan bisnis telah berhenti karena tidak ada anggota lagi di muka bumi ? Kholid menyatakan bahwa bila sudah diketahui bahwa skema piramid akan berhenti suatu saat, maka pada hakekatnya MLM ini adalah judi. Sebab setiap orang akan berlomba untuk masuk ke dalam sistem ini untuk mendapatkan keuntungan, sebelum hancurnya skema piramid ini.
Analisis yang dilakukan penulis menyatakan bahwa table tersebut adalah berlebihan, karena tidak masuk akal dan tidak diberikan informasi yang jelas mengenai peluang keberhasilannya. Bagi orang yang berpendidikan dan pengalaman maka table ini hanyalah tambahan informasi yang bisa dicek kebenaran dan peluang keberhasilannya yang sangat kecil. Namun bagaimana dengan calon anggota yang (maaf) kurang berpendidikan dan tidak pengalaman ? Ini sangat berbahaya dan memalukan, karena ini membuat calon tersebut masuk menjadi anggota dan tidak sempat lagi berfikir lama, yang penting masuk dulu dan akan sukses. Padahal jalan menuju sukses tersebut kecil peluangnya dan ada hal-hal yang mustahil realisasinya. Jalan terbaik adalah perusahaan MLM tersebut memberikan table yang jelas, jumlah anggota yang mungkin dapat berhasil beserta keterangan mengenai peluang keberhasilannya.
Kedua adalah mengenai harga produk yang dicurigai tidaklah senilai dengan harga sesungguhnya. Karena diduga kuat 1/3 dari harga tersebut adalah bersih telah disetorkan kepada perusahaan, sedangkan bagian yang tersisa yaitu 2/3 diberikan kepada upline dan merupakan janji-janji yang yang ada di masa yang akan datang bila ia (calon down line dan down line) menjadi up line tersebut. Misalnya pada MLM “B” mengakui bahwa pada harga produk Rp.100.000, maka Rp. 33.000 adalah untuk perusahaan, sedangkan Rp. 77.000 digunakan sebagai operasional perusahaan dan pemberian bonus kepada para anggota yang dianggap sebagai marketing, distributor sekaligus konsumen. Benarkah demikian ? Menurut penulis tidak semua perusahaan MLM seperti ini, jadi harus dilihat kasus demi kasus. Analisis diatas adalah kasus yang dialami oleh perusahaan MLM “B”, dan ini belum tentu dilakukan oleh perusahaan MLM lain. Oleh karena setiap kasus yang berhubungan dengan mark up harga adalah berbeda satu dengan yang lain. Misalnya perusahaan MLM “V” yang mempunyai produk unggulan pembalut wanita, yang diklaim berasal dari herbal, alami, dengan aroma jamu, bukan berasal dari bahan-bahan sampah atau pemutih kimia berbahaya, serta mampu mencegah kanker serviks. Harga 1 bungkus berisi 10 buah adalah Rp. 32.000, sedangkan harga member adalah Rp. 26.000. Harga pembalut biasa Rp. 3000 berisi 5 atau Rp. 6000 berisi 10.

Bila diperhatikan harga yang diberikan cukup wajar. Silakan amati Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Perbandingan antara Pembalut R dan Pembalut V (sistem MLM)

No Jumlah Harga Khasiat Keterangan
Pembalut R (non MLM ) 10 / 2 Bungkus Rp. 6000,- Pembalut saja, murah Ada izin DepKes, kemasan baik, aroma netral, merk terkenal, pemakaian 5 buah / hari. Pemakaian Rp. 3000 / hari
Pembalut V (MLM) 10 / bungkus Rp. 26.000 Pembalut, diclaim dapat mencegah kanker serviks, aroma jamu, nyaman ada rasa mint sehingga terasa segar di daerah pribadi wanita*. Darah nifas cepat berhenti setelah melahirkan Ada izin DepKes, Kemasan baik, aroma jamu herbal, merk baru terkenal, ramah lingkungan, ada keuntungan anggota, pemakaian : 2 buah / hari. Pemakaian Rp. 5200,- / hari

*Sumber : Wawancara singkat dengan beberapa pengguna

Pada Tabel 1. diatas terlihat bahwa produk MLM tersebut memiliki khasiat yang lebih baik dibandingkan dengan produk biasa, sehingga wajar bila dijual dengan nilai lebih mahal dibandingkan dengan produk biasa, dengan khasiat biasa dan diduga berbahaya bagi kesehatan. Kata ‘mahal’ tersebut adalah relatif dan pada kasus diatas mahalnya barang MLM di atas tidak lebih dari 2 kali dari barang non MLM, sehingga penulis anggap sesuatu yang wajar. Apakah Anda mau menukar kesehatan pribadi istri Anda dengan barang yang lebih murah Rp. 20.000 / bulan ? Begitu kira-kira promosi anggota MLM tersebut. Analisis tersebut menyatakan bahwa tidak semua barang MLM mempunyai harga yang menipu atau harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan barang non MLM, sehingga harus dilihat dari kasus per kasus.

Ketiga peluang untuk menjadi leader adalah kecil walau dirasa ada kemungkinan. Misalnya bila peluang Fulan merekrut orang baru dan down linenya juga membantu merekrut orang baru adalah sekitar 80%, dan ia mampu merekut 4 orang baru maka kemungkinannya (80%)4 yaitu 0.409. Bagaimana kemungkinan untuk merekrut 18 orang ? Kemungkinannya adalah (80%)18 yaitu hanya 1,8% sehingga nilai tersebut sangat kecil peluang itu terjadi.

Perhitungan tersebut menurut penulis benar jika Fulan melakukan perekrutan anggota dilakukan dengan sendiri-sendiri, tanpa bantuan orang lain, maka dengan asumsi peluang merekrut orang baru dibawahnya 80% (suatu nilai yang sangat tinggi), maka untuk merekrut 4 orang peluangnya menjadi (80%)4 yaitu 0.409. Begitu seterusnya makin banyak direkrut makin kecil peluangnya. Namun ini dengan catatan dilakukan dengan sendiri, dan dibantu dengan down line dibawahnya yang mempunyai peluang 0.8 juga. Namun peluang ini akan semakin besar bila ia melakukannya secara masal, pada acara-acara tertentu yang melibatkan banyak orang, sehingga orang makin percaya dan pada akhirnya terjadi pendaftaran masal. Walaupun kemungkinan untuk menjadi leader adalah sangat kecil, namun orang tetap bersemangat karena terdapat nilai bonusnya yang lebih besar pada level di atasnya.

Masih ada kelanjutanya lho, nantikan di artikel yang selanjutnya.

sumber : http://zonaekis.com/hukum-dasar-dari-sistem-mlm

MLM Menurut Fiqh Muammalah

Benarkah MLM haram ? (Kajian Fiqh Muamalah)

Beberapa dekade belakangan ini, gerakan perusahaan pemasaran berjenjang atau dikenal dengan Multi Level Marketing (MLM) semakin berkembang pesat di tanah air. Perusahaan MLM adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, yang dibangun secara permanen dengan memposisikan pelanggan perusahaan sekaligus sebagai tenaga pemasaran. Konsep perusahaan ini adalah penyaluran barang (produk dan jasa tertentu) yang memberi kesempatan kepada para konsumen untuk turut terlibat sebagai penjual dan memperoleh manfaat dan keuntungan di dalam garis kemitraannya. Dalam istilah MLM, anggota dapat pula disebut sebagai distributor atau mitra niaga. Jika mitraniaga mengajak orang lain untuk menjadi anggota pula sehingga jaringan pelanggan/pasar semakin besar/luas, itu artinya mitraniaga telah berjasa mengangkat omset perusahaan. Atas dasar itulah kemudian perusahaan berterimakasih dengan bentuk memberi sebagian keuntungannya kepada mitraniaga yang berjasa dalam bentuk insentif berupa bonus, baik bonus bulanan, tahunan ataupun bonus-bonus lainnya.

Konsep MLM pertama dicetuskan oleh NUTRILITE sebuah perusahaan AS pada tahun 1939. Saat ini MLM di seluruh dunia telah mencapai jumlah sekitar 10.000 an, di Indonesia jumlah MLM yang ada mencapai jumlah 1500an. Menurut data di internet, menunjukkan bahwa setiap hari muncul 10 orang millioner/ jutawan baru karena mereka sukses menjalankan bisnis MLM. Data menunjukkan bahwa sekitar 50% penduduk di Amerika Serikat kaya karena mereka sukses dari bisnis MLM, begitu pula di Malaysia. Kini jumlah MLM di Malaysia telah mencapai sekitar 2000-an dengan jumlah penduduk 20 jutaan. Tahun-tahun berikutnya diduga akan makin banyak perusahaan MLM dari Malaysia dan Negara lain akan masuk ke Indonesia.

Perusahaan MLM syariah adalah perusahaan yang menerapkan sistem pemasaran modern melalui jaringan distribusi yang berjenjang, dengan menggunakan konsep syariah, baik dari sistemnya maupun produk yang dijual. Pada dasarnya MLM syariah merupakan konsep jual beli yang berkembang dengan berbagai macam variasinya. Perkembangan jual beli dan variasinya ini tentu saja menuntut kehati-hatian agar tidak bersentuhan dengan hal-hal yang diharamkan oleh syariah, misalnya riba dan gharar, baik pada produknya atau pada sistemnya. Menurut Syafei (2008:73) jual beli dalam bahasa Arab adalah ba’i yang secara etimologi berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan menurut istilah ba’i berarti pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus yang diperbolehkan. Landasannya adalah terdapat pada surat Al Baqarah ayat 275, Al Baqarah ayat 282 dan An Nisa ayat 29. Pada Al Baqarah ayat 275 Allah berfirman :

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.

Kemudian pada surat Al Baqarah ayat 282 Allah berfirman : “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.

Allah SWT juga memerintahkan manusia agar mengembara di muka bumi mencari karunia (nafkah) setelah melakukan ibadah shalat. Allah SWT berfirman dalam surat Al Jumuah ayat 10 :

“Apabila telah kamu ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Pada as Sunnah Rasululah SAW pernah ditanya mengenai mata pencaharian yang paling baik. Rasul menjawab :

” Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur” (HR Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifaah ibnu Rafi’).

Kelahiran MLM Syari’ah dilatar belakangi oleh kepedulian akan kondisi perekonomian umat Islam Indonesia yang masih terpuruk. Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini, harus menggunakan kekuatan jaringan, agar pemberdayaan potensi bisnis umat Islam Indonesia, bisa diwujudkan. Pemberdayaan ekonomi kaum Muslimin, adalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang harus dilakukan, sebab sebagian besar rakyat Indonesia adalah umat Islam.

Dalam MLM Syari’ah, kegiatan bisnisnya adalah penjualan atau pemasaran produk-produk Muslim yang halalan thayyiban yang dibidani oleh figur ulama dari MUI dan ICMI. Gerakan ini juga mendapat dukungan kuat dari pakar ekonomi Islam dan perguruan tinggi Islam yang mengembangkan kajian ekonomi syari’ah di seluruh Indonesia.

Dengan demikian, MLM konvensional yang berkembang pesat saat ini, dimodifikasi dan disesuaikan dengan syari’ah. Aspek-aspek haram dan syubhat dihilangkan dan diganti dengan nilai-nilai ekonomi syari’ah yang berlandaskan tauhid, akhlak, hukum muamalah. Visi dan misi MLM bisa juga berbeda total dengan MLM syari’ah. MLM Syari’ah juga sangat berbeda dengan MLM konvensional yang pernah ada dan berkembang di Indonesia saat ini. Perbedaan itu terlihat dalam banyak hal, seperti perbedaan motivasi dan niat, visi, misi, prinsip, orientasi, komoditi, sistem pengelolaan, pengawasan dan sebagainya.

Motivasi dan niat dalam menjalankan MLM Syari’ah setidaknya ada empat macam. Pertama, kashbul halal wa intifa’uhu (usaha halal dan menggunakan barang-barang yang halal). Kedua, bermu’amalah secara syari’ah Islam. Ketiga, mengangkat derajat ekonomi umat. Keempat, mengutamakan produk dalam negeri.
Adapun visi MLM Syari’ah adalah mewujudkan Islam Kaffah melalui pengamalan ekonomi syari’ah. Sedangkan misinya adalah: Pertama, mengangkat derajat ekonomi umat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Kedua, meningkatkan jalinan ukhuwah Islam di seluruh dunia. Ketiga, membentuk jaringan ekonomi Islam dunia, baik jaringan produksi, distribusi, maupun konsumennya, sehingga dapat mendorong kemandirian dan kemajuan ekonomi umat. Keempat, memperkukuh ketahanan aqidah dari serbuan budaya dan idelogi yang tidak Islami. Kelima, mengantisipasi dan meningkatkan strategi menghadapi era liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Keenam, meningkatkan ketenangan batin konsumen Muslim dengan tersedianya produk-produk halal dan thayyib.

Perusahaan MLM Syari’ah diduga prospektif dan memiliki potensi besar untuk berkembang dimasa depan. Hal ini disebabkan mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam dan MLM yang dijalankan sesuai syari’ah di Indonesia dan mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI hanya ada tiga yaitu PT Ahad-Net Internasional, PT UFO, dan PT Exer Indonesia dengan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia No. U-299/DSN-MUI/XI/2007.

Selanjutnya dari segi fikh muamalah ada beberapa ulama yang belum berani memastikan apakah MLM dan MLM ‘syariah’ tersebut halal dan thayib. Saat ini, keberadaan Multi Level Marketing masih menjadi kontroversi bagi sebagian masyarakat ekonomi syari’ah. Berbagai alasan menjadi penyebab keraguan masyarakat akan kehalalan MLM mengingat begitu banyaknya kejadian di masyarakat yang kontroversial dimana masyarakat yang menginginkan kemakmuran, kekayaan dan kesehatan dalam waktu relative singkat dan juga terdapat beberapa kejadian-kejadian yang menarik dan mengejutkan mengenai keberadaan MLM syariah ini, maka penulis sangat tertarik untuk mendalami dan mencoba meneliti dari segi fikh muamalah. Penulis tertarik untuk memeriksa MLM ini dengan rumusan masalah : Bagaimana keberadaan MLM dilihat dari segi sisi fiqh muamalah ?

Kelanjutan kajian ini ada di artikel berikutnya.

sumber : zonaekis

Sifat Sistem Ekonomi Islam

Pembahasan tentang tujuan-tujuan sistem ekonomi Islam di atas menunjukkan bahwa kesejahteraan material yang berdasarkan nilai-nilai spiritual yang kokoh merupakan dasar yang sangat perlu dari filsafat ekonomi Islam.

Karena dasar sistem Islam sendiri berbeda dari sosialisme dan kapitalisme, yang keduanya terikat pada keduniaan dan tak berorientasi pada nilai-nilai spiritual, maka suprastrukturnya juga mesti berbeda. Usaha apapun untuk memperlihatkan persamaan Islam dengan kapitalisme atau sosialisme hanyalah akan memperlihatkan kekurang-pengertian tentang ciri-ciri dasar dari ketiga sistem tersebut.

Disamping itu, sistem Islam betul-betul diabdikan kepada persaudaraan umat manusia yang disertai keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan yang adil, dan kepada kemerdekaan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.

Dan perlu dinyatakan disini, bahwa pengabdian ini berorientasi spiritual dan terjalin erat dengan keseluruhan jalinan nilai-nilai ekonomi dan sosialnya. Berlawanan dengan ini, orientasi kapitalisme modern pada keadilan ekonomi dan sosial dan distribusi pendapatan yang adil hanyalah bersifat parsial saja, dan merupakan akibat desakan-desakan kelompok masyarakat, bukannya merupakan dorongan dari tujuan spiritual untuk menciptakan persaudaraan umat manusia, dan tidak merupakan bagian integral dari keseluruhan filsafatnya.

Sedang orientasi sosialisme, walaupun dinyatakan sebagai hasil dari filsafat dasarnya, tidaklah benar-benar berarti, karena tiadanya pengabdian kepada cita persaudaraan umat manusia dan kriteria keadilan dan persamaan yang adil berdasarkan spiritual di satu pihak, dan di pihak lain karena hilangnya kehormatan dan identitas individu yang disebabkan karena tidak diakuinya kemerdekaan individu, yang merupakan kebutuhan dasar manusia.

Komitmen Islam terhadap kemerdekaan individu dengan jelas membedakannya dari sosialisme atau sistem apapun yang menghapuskan kebebasan individu. Saling rela tak terpaksa antara penjual dan pembeli, menurut semua ahli hukum Islam, adalah merupakan syarat sahnya transaksi dagang. Persaratan ini bersumber dari ayat Al-Qur’an: “Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu memakan harta salah seorang diantaramu dengan jalan yang tidak benar; dapatkanlah harta dengan melalui jual beli dan saling merelakan” (QS. 4:29).

Satu-satunya sistem yang sesuai dengan semangat kebebasan dalam way of life Islam ini adalah sistem dimana pelaksanaan sebagian besar proses produksi dan distribusi barang-barang serta jasa diserahkan kepada individu-individu atau kelompok-kelompok yang dibentuk dengan sukarela, dan dimana setiap orang diijinkan untuk menjual kepada, dan membeli dari siapapun yang dikehendakinya dengan harga yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Kebebasan berusaha, berlawanan dengan sosialisme, memberikan kemungkinan untuk hal itu dan diakui oleh Islam bersama-sama dengan unsur-unsur yang mendampinginya, yaitu pelembagaan hak milik pribadi.

Al-Qur’an, As-Sunnah, dan literatur fiqh penuh dengan pembahasan yang terperinci tentang norma-norma yang menyangkut pencarian dan pembelanjaan harta benda pribadi dan perdagangan, dan jual beli barang-barang dagangan, disamping pelembagaan zakat dan warisan.

Yang pasti tidak akan dibahas dengan demikian terperinci seandainya pelembagaan hak milik pribadi atas sebagian besar sumber-sumber daya yang produktif tidak diakui oleh Islam. Karena itu, peniadaan hak milik pribadi ini tidak dapat dipandang sesuai dengan ajaran Islam.

Mekanisme pasar juga dapat dipandang sebagai bagian integral dari sistem ekonomi Islam, karena di satu pihak pelembagaan hak milik pribadi tidak akan dapat berfungsi tanpa pasar.

Dan dilain pihak, pasar memberikan kesempatan kepada para konsumen untuk mengungkapkan keinginannya terhadap produk barang atau jasa yang mereka senangi diiringi kesediaan mereka untuk membayar harganya, dan juga memberikan kepada para pemilik sumber daya (produsen) kesempatan untuk menjual produk barang atau jasanya sesuai dengan keinginan bebas mereka.

Motif mencari keuntungan, yang mendasari keberhasilan pelaksanaan sistem yang dijiwai kebebasan berusaha, juga diakui oleh Islam. Hal ini dikarenakan keuntungan memberikan insentif yang perlu bagi efisiensi pemakaian sumberdaya yang telah dianugerahkan Allah kepada umat manusia.

Efisiensi dalam alokasi sumber daya ini merupakan unsur yang perlu dalam kehidupan masyarakat yang sehat dan dinamis. Tetapi karena adalah mungkin untuk menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, dan dengan demikian membawa kepada berbagai penyakit ekonomi dan sosial, maka Islam menempatkan pembatasan-pembatasan moral tertentu atas motif mencari keuntungan, sehingga motif tersebut menunjang kepentingan individu dalam konteks sosial dan tidak melanggar tujuan-tujuan Islam dalam keadilan ekonomi dan sosial serta distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil.

Pengakuan Islam atas kebebasan berusaha bersama dengan pelembagaan hak milik pribadi dan motif mencari keuntungan, tidaklah menjadikan sistem Islam mirip dengan kapitalisme yang berdasarkan kebebasan berusaha. Perbedaan antara kedua hal itu perlu difahami dikarenakan oleh dua alasan penting:

Pertama, dalam sistem Islam, walaupun pemilikan harta benda secara pribadi diizinkan, namun ia harus dipandang sebagai amanat dari Allah, karena segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi sebenarnya adalah milik Allah, dan manusia sebagai wakil (khalifah) Allah hanya mempunyai hak untuk memilikinya dengan status amanat. Qur’an berkata:

“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan dibumi” (QS. 2:84).

“Katakanlah: Kepunyaan siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, kalau kamu semua tahu? Pasti mereka akan menjawab: Milik Allah. Katakanlah: Kalau demikian, maukah kamu semua berfikir?” (QS. 23:84-85).

“Dan berilah (bantulah) mereka dari kekayaan Allah yang telah diberikan Allah kepadamu” (QS. 24:33).

Kedua, karena manusia adalah wakil Allah di bumi, dan harta benda yang dimilikinya adalah amanat dari-Nya, maka manusia terikat oleh syarat-syarat amanat, atau lebih khusus lagi, oleh nilai-nilai moral Islam, terutama nilai-nilai halal dan haram, persaudaraan, keadilan sosial dan ekonomi, distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, dan menunjang kesejahteraan masyarakat umum.

Harta benda haruslah dicari dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, dan harus dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang menjadi tujuan penciptaannya.

asulullah saw bersabda:

“Harta benda memang hijau dan manis (mempesona); barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang halal, maka harta itu akan menjadi pembantunya yang sangat baik, sedangkan barangsiapa yang mencarinya dengan cara yang tidak benar, maka ia akan seperti seseorang yang makan tapi tak pernah kenyang” (HR. Muslim, dalam Shahih-nya, 2:728). Wallahu a’lam bish-shawab.

sumber : zonaekis

Apa itu Perencanaan Keuangan Keluarga Syariah?

Kita belajar dan menuntut ilmu agar bisa memiliki pekerjaan dan penghasilan, namun kita tidak pernah diajari bagaimana mengelola keuangan dengan baik untuk diri kita dan keluarga kita. Keluarga adalah unit sosial yang terkecil. Bukan hanya itu, keluarga juga merupakan unit ekonomi, dan spiritual terkecil. Seperti batu bata yang menyusun dinding yang kokok, maka keluarga merupakan unit yang secara bersama – sama membentuk masyarakat yang kokoh, baik secara sosial, ekonomi dan spiritual.

Pentingnya memperkuat berbagai aspek dari keluarga semakin disadari karena sebagai unit edukasi dan interaksi terkecil dari masyarakat, keluarga merupakan ajang untuk knowledge sharing yang handal, apabila dapat dimanfaatkan secara optimal. Banyak hal – hal yang tidak dapat diajarkan di sekolah, harus dan bahkan sepatutnya diajarkan di rumah, guna melengkapi pendidikan bagi anggota keluarga. Salah satu hal yang jelas terlihat adalah kurangnya pendidikan tentang keuangan pribadi di jenjang pendidikan formal yang didapatkan oleh masyarakat.

Pendidikan tentang keuangan hanya berhenti di tingkatan dasar, yaitu dengan anjuran untuk menabung, tetapi tidak dilanjutkan dengan keahlian – keahlian lain yang akan menunjang keputusan seseorang dalam berkeuangan.

Berbagai pendekatan mengenai keuangan keluarga telah dilakukan, salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan pendekatan spiritual dengan Perencanaan Keuangan Islam. Mengapa kemudian pendekatan ini menjadi salah satu alternatif bagi keluarga, karena dalam perencanaan keuangan Islam, ada beberapa hal mendasar yang membuatnya berbeda dengan pendekatan lain yang konvensional.

Harus Berdasarkan Nilai-nilai Islam

Hal pertama yang ditekankan di sini adalah bahwa semua strategi, proses dan tujuan dari perencanaan keuangan yang dilakukan berdasarkan nilai – nilai Islam, mengacu kepada Al- Qur’an dan hadist. Hal ini memberi fondasi dan kerangka dari pendekatan dan proses yang dilakukan.

Yang kedua, bahwa harta merupakan titipan dan pemilik mutlak dari harta adalah Allah SWT, ini yang memberikan dimensi bahwa manusia sebagai hamba sekaligus khalifah Allah SWT di muka bumi harus tunduk dan patuh pada ketentuan – ketentuan Allah dalam mengelola harta titipan Allah tersebut.

Yang ketiga, tujuan yang ingin dicapai oleh perencanaan keuangan Islam adalah bukan hanya pemenuhan tujuan – tujuan finansial atau kebebasan finansial, tetapi tujuan akhir dari perencanaan keuangan Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan dan kebaikan dunia akhirat, suatu dimensi tujuan yang lebih menyeluruh.

Seperti yang disampaikan oleh Bapak Eko. P. Pratomo dalam Workshop Cerdas Finansial Dengan Nilai – nilai Spiritualitas yang dilaksanakan oleh Hijrah Institute dan Universitas Paramadina, “?”Kita belajar dan menuntut ilmu agar bisa memiliki pekerjaan dan penghasilan, namun kita tidak pernah diajari bagaimana mengelola keuangan dengan baik untuk diri kita dan keluarga kita “.

Kurangnya pendidikan finansial di sekolah dan pendidikan formal, harus diisi dengan pendidikan tentang keuangan pribadi melalui jalur – jalur pelatihan dan untuk hal – hal yang mendasar, seyogyanya hal tersebut dilakukan di tingkatan keluarga dan menjadi kebiasaan dan gaya hidup sehari – hari.

Kecenderungan yang terjadi selama ini adalah permasalahan bagaimana mengelola keuangan keluarga sering kurang mendapat perhatian. Padahal dengan makin rumitnya permasalahaan kehidupan dan makin beragamnya tujuan keuangan yang ingin dicapai, maka diperlukan ilmu yang memadai dimana ilmu tersebut tidak hanya mencakup masalah finansial tetapi juga bagaimana pengelolaan tersebut juga dapat memperbaiki kualitas hidup, bukan hanya kualitas hidup di dunia, tetapi juga kualitas keimanan dan dimensi akhirat yang tidak dapat dipisahkan dari dimensi dunia.

Seperti yang disampaikan oleh Palgunady T. Setyawan, motivator dan penulis buku Menapak Jalan Mendaki, “Masalah keuangan kadang terlihat sepele, namun jika tidak dihadapi secara Cerdas, Cermat dan Amanah, harta yang kita peroleh bisa membawa kita jauh dari tujuan meraih kebahagiaan didunia dan di ahkirat”

Menyeluruhnya dimensi yang dijangkau oleh perencanaan keuangan Islam, dapat dilihat bahwa bukan hanya tujuan finansial yang menjadi titik beratnya, tetapi juga bagaimana memperoleh harta tersebut dan proses untuk mencapai tujuan finansial. Keberkahan yang diyakini hanya akan diperoleh melalui harta yang halal, dan tujuan yang tidak menyimpang dari tuntunan agama menjadikan perencanaan keuangan Islam merupakan bagian integral dari perencanaan hidup amanah dan bersih yang dilakukan oleh Muslim.

Perencanaan menjadi hal yang penting, tetapi lebih penting lagi adalah fondasi dan kerangka daripada perencanaan tersebut. Bagi muslim, yang tujuan kehidupannya tiada lain untuk meraih ridha Allah, mencapai kebaikan dunia dan akhirat, adalah merupakan hal yang logis apabila dalam mengelola harta dan berikhtiar pun berada dalam koridor keislaman. Dari titik awal perencanaan, proses, strategi sampai dengan tujuan – tujuan yang ingin dicapai dengan perencanaan tersebut, berada di koridor Ilahiah dan spiritualitas, sehingga pertimbangan dan keputusan yang dilakukan pun menjadi selaras dengan nilai – nilai Islam.

Sumber : Zonaekis

Termasuk Ribakah Biaya Administrasi Lembaga Keuangan Syariah.?


Memang persoalan penetapan biaya administrasi ini merupakan salah isu penting dalam praktek lembaga keuangan syariah, termasuk lembaga mikro seperti BMT dan koperasi syariah. Seringkali biaya administrasi ini diasosiasikan sebagai “pintu belakang” riba. Ketika riba dilarang, maka digunakanlah istilah biaya administrasi sebagai gantinya.
Karena itu, agar biaya administrasi ini tidak masuk dalam kategori “tambahan” yang tidak diperbolehkan, maka ada dua syarat utama yang harus dipenuhi, yaitu :
Pertama, biaya administrasi ini harus didasarkan pada perhitungan riil biaya yang digunakan untuk melaksanakan sebuah transaksi. Misalnya, biaya materai, biaya pengurusan dokumen, biaya upah untuk survey, biaya komunikasi, dan lain-lain. Sehingga, angka yang keluar memang betul-betul mencerminkan “nilai riil” administrasi yang dilakukan.
Kedua, prosentase biaya administrasi ini hendaknya tidak dihubungkan dengan besarnya angka pembiayaan yang diberikan, kecuali jika memang prosentase tersebut mencerminkan biaya riil yang dikeluarkan untuk mengeksekusi pembiayaan tersebut. Kalau kebijakan BMT berprinsip “yang penting biaya administrasinya 1 persen dari pembiayaan”, tanpa terkait dengan nilai riil administrasi yang dilakukan, maka hal tersebut masuk dalam kategori riba an-nasiah yang dilarang dalam ajaran Islam.
Alternatif yang mungkin digunakan supaya BMT/Koperasi Syariah tersebut dapat memetik keuntungan, sekaligus menutupi biaya operasionalnya, adalah melalui penerapan akad-akad bisnis syariah secara tepat. Dalam setiap akad, akan selalu ada unsur yang memberikan peluang keuntungan bagi lembaga keuangan syariah. Sebagai contoh, unsur rasio bagi hasil dalam pembiayaan mudarabah dan musyarakah, serta marjin profit pada pembiayaan murabahah. Namun demikian, yang namanya bisnis, juga harus tetap diantisipasi kemungkinan rugi, karena untung rugi merupakan bagian dari sunnatullah. Wallahu a’lam.

Sumber : Republika

Sistem Keuangan Islam Makin Penting dalam Ekonomi Global

GLOBAL Islamic Finance Forum pada 25-28 Oktober 2010 merupakan kelanjutan 2007 dan forum sejenis bertajuk Kuala Lumpur Islamic Finance Forum.

Event tingkat tinggi itu menjadi ajang temu para regulator, ulama, cendekiawan, dan pelaku industri keuangan dari seluruh dunia.
Acara diselenggarakan Asosiasi Lembaga Perbankan Islam Malaysia (AIBIM), Asosiasi Takaful Malaysia (MTA), RedMoney Group, dan the International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance (ISRA).
Kegiatan tersebut diselenggarakan untuk mendukung inisiatif Malaysia International Islamic Financial Centre dalam mengembangkan Malaysia sebagai pusat keuangan Islam internasional.

Melibatkan 118 pembicara kaliber international dan 171 ulama dunia, digelar diskusi dan pertemuan khusus untuk menjalin kerja sama.
Forum diselenggarakan di Hotel Nikko dan Hotel Mandarin dengan 120 sesi secara paralel dalam 10 ruangan.

Di samping itu, para pemangku kepentingan industri keuangan Islam dari seluruh dunia bertemu untuk membahas serta bertukar pandangan dan wawasan tentang potensi pertumbuhan dan peluang dalam keuangan Islam internasional yang berpotensi menyumbang pemulihan ekonomi global.

Mereka menilai keuangan Islam merupakan komponen yang makin penting dalam sistem keuangan internasional mengingat potensinya dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi global dan stabilitas keuangan sangat signifikan.

Event yang melibatkan 47 negara dan bertema ’’Keuangan Islam Global, Peluang untuk Masa Datang’’ itu dibuka oleh Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak.

Pada pidato pembukaan ia mengatakan Malaysia diharapkan dapat mencapai pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sekitar 7% tahun ini dan bertekad terus tumbuh antara 5 dan 6% pada 2011.
Semua itu didasarkan pada kinerja ekonomi yang tumbuh 9,5% pada semester I tahun ini. Diprediksi ekonomi Malaysia akan tumbuh rata-rata 6% per tahun sepuluh tahun ke depan.
Mengesankan Najib menandaskan sektor keuangan Islam tumbuh mengesankan, yakni 30% per tahun dan diharapkan sebagai salah satu penyumbang penting pertumbuhan ekonomi nasional.

’’Khususnya dalam memainkan peran penting dalam mendorong stabilitas sistem yang lebih besar dan ketahanan ekonomi,’’ tuturnya.
Menurut dia, 450 miliar dolar AS atau 1,4 triliun ringgit Malaysia diperlukan untuk transformasi ekonomi sepuluh tahun ke depan berupa dana berbagai proyek, dari energi nuklir sampai jaringan tranportasi darat.

Sektor keuangan Islam, kata dia, mempunyai peran besar, termasuk sukuk. Malaysia merupakan negara penerbit sukuk terbesar di dunia atau sebesar 60% dengan nilai 130 miliar dolar AS.

Malaysia bersemangat menyelenggarakan forum-forum sejenis. Tahun ini sudah diselenggarakan tiga pertemuan berskala internasional.
Dukungan Bank Negara Malaysia (Bank Sentral) sangat besar, terutama dalam membiayai forum-forum tersebut. Semua bertekat memajukan sistem itu karena yakin keuangan Islam akan memajukan ekonomi mereka.

Global Islamic Finance Forum 2010 mencakup Global Business Leaders Dialog, kuliah umum, regulator forum, media program engagement, penyiaran Islamic Finance News, dan forum temu investor Asia 2010 oleh RedMoney.

Lokakarya pengelolaan likuiditas, pengembangan takaful, dan pengembangan bank syariah melibatkan Pusat Pendidikan Perbankan dan Lembaga Keuangan Malaysia (IBFIM) serta Pusat Pendidikan Keuangan Islam Internasional (INCEIF).

INCEIF merupakan lembaga pendidikan keuangan Islam terbesar yang dibiayai oleh Bank Negara Malaysia. Bank sentral itu menyisihkan dana wakaf khusus untuk penyelenggaraan seminar dan pendidikan keuangan Islam. INCEIF juga memberikan beasiswa kepada mahasiswa dari seluruh dunia.

Pada sesi Global Business Leaders Dialog yang melibatkan para pemimpin bisnis dari Asia, Afrika, Eropa, AS, dan Australia; Tanri Abeng, Presiden Komisaris PT Telkom menyajikan pandangan tentang “Membangun Keuangan Global pada Dekade Mendatang” dan ’’Peluang Keuangan Islam dalam Membangun Ekonomi Dunia Pasca-Krisis’’.

Pada forum regulator pembuat kebijakan turut berbicara Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dr Halim Alamsyah yang memaparkan pertumbuhan keuangan syariah di Indonesia yang menakjubkan, yakni mencapai 35% per tahun dan keterbatasan bank syariah dalam memenuhi permintaan pasar keuangan Islam di Indonesia.

(Drs HM Bedjo Santoso MT, dosen Fakultas Ekonomi Unissula, studi S-3 di International Islamic University Malaysia-29)

Sumber : Suara Merdeka

Riset Ciptakan Perbankan Syariah yang Sehat

Perbankan syariah harus ditopang dengan fungsi riset, karena melalui penelitian perbankan itu mampu tumbuh dengan cepat, sehat, kokoh, dan dapat diaplikasikan bagi seluruh lapisan masyarakat.

“Dalam pelaksanaan fungsi riset tersebut diperlukan kreativitas untuk mendorong perbankan syariah agar lebih canggih, efisien, dan murah,” kata Peneliti Senior Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Nasirwan Ilyas, di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat.

Menurut dia pada diskusi Forum Riset Perbankan Syariah, hal itu dilakukan agar perbankan syariah dapat menawarkan produk yang lebih kompetitif, unggul, dan dapat digunakan seluruh lapisan masyarakat.
“Oleh karena itu, perlu diselenggarakan forum riset perbankan syariah yang diikuti mahasiswa, dosen, praktisi, dan peneliti,” katanya.

Ia mengatakan forum riset tersebut juga dimaksudkan agar semangat para dekan fakultas ekonomi, dosen, dan mahasiswa melakukan penelitian secara lebih luas. “Kami berharap melalui forum riset itu dapat mendorong dan memotivasi budaya penelitian dosen maupun mahasiswa,” katanya.

Kepala Peneliti Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, Dhani Gunawan mengatakan perbankan syariah belum berkembang pesat karena masih ada beberapa kendala. “Kendala itu, di antaranya pemahaman masyarakat mengenai perbankan syariah yang belum meluas, permasalahan sumber daya manusia, dan permodalan,” katanya.

Ia mengatakan masalah sumber daya manusia muncul terkait dengan perbankan syariah yang masih langka atau belum banyak. Kondisi itu, menurut dia, berkaitan dengan modal. Modal sedikit otomatis perbankan syariah tersebut tidak bisa mengembangkan sumber daya manusia dan teknologi informasi. “Hal ini akan membuat perbankan syariah cenderung sulit berkembang,” katanya.

Sumber : Republika

Pengertian Bank Syariah

Falsafah dasar Perbankan Syariah mengacu kepada ajaran Agama Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, Alhadist dan Al-Ijtihad. Islam mengajarkan tentang ikhtiar Untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat, untuk mencapai kebahagiaan lahir dan bathin. Hal ini berarti dalam mencapai kebahagiaan dunia harus dilakukan juga untuk mencapai kebahagiaan akhirat.

Diantaranya adalah dalam bidang muamalah yang tetap mengacu pada Prinsip-Prinsip ajaran agama sebagai jembatan menuju kebahagiaan akhirat. Seperti dalam Perbankan Islam yang harus berpegang pada dasar – dasar muamalat menurut Al Qur’an, Al hadist dan al ijtihad.

Muamalah adalah ketentuan syariat yang mengatur hal hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia, seperti : jual beli, perdagangan, sewa-menyewa, pinjam-meminjam dan lain sebagainya.

Syariat adalah hukum atau peraturan yang ditentukan Allah Swt untuk hambaNya sebagaimana yang terkandung dalam al Qur’an dan hadist.

Bank Syariah adalah Sistem Perbankan yang kegiatan usaha dan operasionalnya berdasarkan Syariah.

Perbankan Islam juga berdasarkan pada aturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme operasional dan manajemen perbankan Islam sesuai dengan yang telah ditetapkan sebagaimana bank konvensional, kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam.

Kegiatan Usaha Bank Syariah antara lain diatur dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 07 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam Pasal 1 nomor (12) dan (13) UU 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dinyatakan bahwa (12)

“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil” (13)

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk pembiayaan dana dan atau kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan Syariah, antara lain Pembiayaan berdasarkan Prinsip bagi hasil (mudarabah), Pembiayaan berdasarkan Prinsip penyertaan modal (musyarakah), Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan Prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) ”

Pelaksanaan kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana pada Bank Syariah di Indonesia tunduk pada ketentuan Peraturan Perundang undangan mengenai perbankan di Indonesia, seperti Undang – undang Nomor 7 tahun 1992 dan Undang – undang Nomor 10 Tahun 1998, disamping itu juga harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan Syariah yang merupakan landasan dalam pelaksanaan kegiatan Penghimpunan Dana pada Bank Syariah.

Kegiatan Penghimpunan dana antara lain dilakukan dalam bentuk : Giro atau Tabungan berdasarkan Prinsip Wadi‟ah; Tabungan berdasarkan prinsip Wadi‟ah dan atau Mudarabah; Deposito berjangka berdasarkan Prinsip Mudarabah.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan kegiatan penghimpunan dana yang dilakukan oleh Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Syariah, antara lain;

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005, Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah,

Pasal (3) yang menjelaskan tentang syarat-syarat kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro atau tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah,

Pasal (4) yang menjelaskan tentang Syarat – syarat kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Giro berdasarkan PrinsipMudarabah, dan

Pasal (5) yang menjelaskan tentang syarat – syarat penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan Mudarabah.

Dalam al Qur’an dan hadist banyak dijelaskan tentang Prinsip wadiah dan mudharabah yang dijadikan sebagai landasan Syariah, seperti dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 58 yang menjelaskan tentang kewajiban menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya ( antara Muwaddi/Penitip dan Mustawda/ Penyimpan, masing-masing harus dapat menjalankan amanat sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama ); demikian juga dijelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 283 yang artinya :” Hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanah “.

Hadist riwayat Abu Daud, At tirmidzi dan hakim menjelaskan …. ” Tunaikanlah amanat yang dipercayakan kepadamu …..”

sumber : http://www.koperasisyariah.com/