Prinsip Dagang Rosulullah SAW

Allah SWT berfirman, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendutakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (QS. al-A'raaf : 96)
Yakni seandainya hati mereka beriman, membenarkan dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rosulullah SAW serta bertakwa dengan melaksanakan ketaatan dan meninggalkan yang haram pastilah Allah akan melimpahkan berkah kepada mereka.
Ada 2 keberkahan yaitu keberkahan di langit (pengabulan doa) dan keberkahan di dunia (terpenuhinya kebutuhan hidup). kalau di pasarnya banyak amalan-amalan rusak maka tidak akan ada keberkahan.
Rosulullah SAW bersabda, jika engkau ingin tahu kepemimpinan seperti apa yang ada di sebuah daerah, lihatlah amalan di mesjid-mesjidnya dan amalan di pasar-pasarnya.

Prinsip Dagang Rosulullah SAW ada 4, diantaranya adalah :
1. Ikhlasun Niat (Niat yang Ikhlas)
Tujuan Allah SWT menciptakan dunia itu bukan untuk bersenang-sengan atau mengumpulkan dan menumpuk harta kekayaan tetapi untuk beribadah kepada Allah saja. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rh berkata, "ibadah adalah mentaati Allah dengan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan melalui lisan para Rosul". Beliau juga berkata bahwa ibadah itu adalah Ismun Jami' yaitu mencakup seluruh perkataan dan perbuatan lahir dan batin, yang terlihat dan tidak terlihat, yang dicintai dan diridhoi oleh Allah SWT. (ibnu taimiyah, al-'Ubudiyah hal.38)
Jadi Ibadah itu bukan hanya shalat, shaum, zakat dan naik haji tapi ismun jami' yaitu seluruh aktifitas yang kita lakukan sehari-hari. setelah memahami bahwa ibadah itu ismun jami' maka seorang muslim harus menjadikan setiap aktifitasnya dengan niat semata-mata mengharap ridha Allah termasuk dalam aktifitas berdagang. Inilah realisasi tujuan penciptaan dirinya.
Kalau niat berdagang karena ingin kaya maka bisa jadi ia hanya kaya di dunia tetapi tidak mendapatkan bagian sedikitpun di akhirat. Atau kalau niat berdagang karena ingin mencari keuntungan semata maka bisa jadi ia hanya mendapatkan keuntungan di dunia tanpa mendapat keuntungan di akhirat. Ingat, yang Allah lihat bukan besarnya keuntungan dan omzet tapi yang dilihat adalah niat (apakah semata-mata mencari ridha Allah ataukah tidak?) dan bagaimana cara dagangnya (apakah sesuai syar'i atau tidak?). Banyak aktifitas atau ibadah besar tapi menjadi kecil di sisi Allah karena niat. Dan banyak aktifitas atau ibadah kecil menjadi besar karena niatnya. Jangan sampai melakukan sesuatu karena ingin dipandang baik oleh manusia tapi buruk dihadapan Allah SWT.
Allah SWT berfirman, "katakanlah : sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam Tiada sekutu BagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. al-An'am : 162-163). Sayangnya, kebanyakan orang lebih memilih pandangan manusia dari pada pandangan Allah SWT, ada pula yang hanya lebih memilih ridho manusia dibanding ridho dari Allah SWT. Na'uzubillah

2. Ittiba'us sunnah (mengikuti sunah)
Cara berdagang yang mengiikuti sunnah adalah cara berdagang yang telah ditetapkan Allah dan RosulNya yaitu sesuai dengan akad-akad dalam hal fiqih muamalah. Pedagang harus mengetahui tentang riba dan fiqih dagang karena dalam islam itu harus mengetahui ilmunya dulu sebelum beramal. Jadi harus tahu dulu tentang apa saja yang diperbolehkan ataupun yang dilarang dalam berdagang.
Imam Bukhari rh berkata, "al-Ilmu qablal qoulu wal 'amal (ilmu itu sebelum perkataan dan perbuatan)". Syaikh Sholeh bin Abdul Aziz Alu Syaikh memberikan penjelasan terhadap perkataan imam Bukhari. Ilmu itu ditegakkan sebelum ucapan dan amal maka akan diberkahi pelakunya biarpun perkaranya itu kecil. Adapun jika ucapan dan amal didahulukan sebelum ilmu, bisa jadi perkaranya itu sebesar gunung, namun itu semua tidaklah diatas jalan keselamatan bahkan malah merusak bagi dirinya maupun orang lain. Dan sungguh, amalan yang setitik namun didasari ilmu, maka akan lebih besar nilainya dariada amalan segunung tanpa ilmu.
Pedagang harus mengetahui perbedaan antara riba dan jual beli karena jual beli dihalalkan oleh Allah, sedangkan riba diharamkan. Dalam aktifitasnya, jual beli antara untung dan rugi bergantung pada kepandaian dan leuletan individunya, sedangkan dalam praktek riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan tanpa adanya kepandaian, kesungguhan bahkan yang ada hanya terjadi kemandegan dan kemalasan.
Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat pada salah satu pihak, dan pihak yang lainnya dirugikan. Dari sisi aqid (orang yang berakad yaitu penjual dan pembeli) harus sudah baligh dan berakal. dan dari sisi produk harus yang halal dan thayib. Sedangkan dari sisi cara menjualnya harus dengan jujur dalam segala hal, baik dalam hal kekurangan dan kelebihan barang, ataupun takarannya serta memberikan harga yang sesuai.

3. Quwwah (sebaik mungkin) dan Musara'ah (secepat mungkin)
Rosulullah SAW menyuruh umatnya agar bersegera dalam mencari ilmu dan rizki. Rosulullah SAW bersabda, "Umatku diberkahi diawal pagi mereka". (HR. Thabrani) Beliau menganjurkan umatnya agar bangun diwaktu fajar dan segera bekerja. Sabda Beliau, "Berpagi-pagilah dalam mencari rizki! Sesungguhnya waktu pagi adalah berkah dan kesuksesan". (HR al-Bazzar dan ath-Thabrani). Rosulullah SAW mendoakan umatnya yang bangun pagi dan bersegera dalam mencari rizki dan ilmu. Sesuai dengan sabdanya, "Ya Allah berkahilah umatku di awal pagi mereka". Perawi berkata, "bila memberangkatkan ekspedisi atau pasukan, beliau memberangkatkan di awal pagi. Shark adalah seorang pedagang. bila ia mendapatkan ekspedisi dagangnya, juga diagi hari. Maka ia menjadi kaya dan melimpah hartanya". (HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud dan Tirmidzi).

Jika kita ingin sukses dalam berdagang dan mendapatkan keuntungan di dunia dan di akhirat maka berdaganglah sesuai apa yang telah dicontohkan oleh Rosulullah berdasarkan petunjuk dari Allah SWT. Wallahua'lam.

Kumpulan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI - Part II

Kawan-kawan pada postingan sebelumnya saya hanya membagikan beberapa fatwa DSN yang dikeluarkan oleh MUI, kali ini saya akan membagikan seluruh dari fatwa-fatwa yang telah dikelurkan oleh MUI, silahkan jika hendak mendownloadnya klik aja link di bawah..
Kaesyar Link

Semoga bermanfaat bagi semua sobat kaesyar, dan bisa menambah wawasan tentang fatwa-fatwa DSN MUI.

Zakat Penghasilan

Salam sobat KAESYAR..!!!, sudah cukup lama saya g posting artikel lagi, kebetulan saya punya artikel yang udh dari dulu mau saya posting tapi baru sempet sekarang, kali ini saya posting tentang zakat penghasilan, karena artikel sebelumnya hanya tentang Zakat secara umum, sedangkan dalam artikel ini membahas tentang macam zakat penghasilan.. Selamat membaca semoga bermanfaat..
Tidak terdapat contoh dalam fiqih (terdahulu) tentang zakat pencarian dan profesi, selain maslah khusus mengenai penyewaan sebagaimana yang dibicarakan Ahmad bin Hambal. Ia diberitakan berpendapat tentang seorang yang menyewakan rumahnya dan mendapatkan uang sewaan yang cukup nishab bahwa orang tersebut wajib mengeluarkan zakatnya ketika menerimanya tanpa persyaratan setahun. Hal itu pada hakekatnya menyerupai mata pencaharian, dan wajib dikeluarkan zakatnya bila sudah mencapai nishab.
Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa sesuatu yang mendesak pada zaman sekarang adalah menemukan hukum pasti "harta penghasilan" itu. Karena itu, terdapat hal-hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu bahwa hasil mata pencaharian, profesi, dan kekayaan non-perdagangan dapat golongkan pada "harta penghasilan" tersebut. Bila kekayaan dari satu kekayaan yang sudah dikeluarkan zakatnya, yang di dalam harta penghasilan itu, mengalami perkembangan, misalnya laba perdagangan dan produksi binatang ternak, maka pernghitungan tahunannya disamakan dengan penghitungan tahun induknya. Hal itu karena hubungan keuntungan dengan induknya sangat erat.
Berdasarkan hal ini, bila seseorang memiliki binatang ternak atau harta perdagangan yang sampai pada nishabnya, maka pokok dan labanya dikeluarkan pada akhir tahun. Berbeda dengan itu, "harta penghasilan" dalam bentuk uang dari kekayaan wajib zakat yang belum cukup masanya setahun tidak diwajibkan mengeluarkan zakatnya waktu itu juga. Misalnya seseorang yang menjual hasil pertaniannya yang sudah dizakatkan 1/20 atau 1/10 nya, atau seseorang yang menjual hewan ternak yang telah dikeluarkan zakatnya.
Bagaimanakah halnya dengan "harta penghasilan" yang berkembang bukan dari kekayaan lain (seperti menjual hasil pertanian atau ternak), tetapi karena penyebab bebas seperti upah kerja, investasi modal, pemberian dan semacamya?
Berlaku jugakah ketentuaan setahun penuh bagi zakat kekayaan hasil kerja ini? Ataukah wajib zakat terhitung saat harta tersebut diperoleh dan sudah terpenuhi syarat-syarat zakat yang berlaku sepeti cukup nishab bersih dari utang dan lebih dari kebutuhan-kebutuhan pokok?
Setelah membandingkan pendapat-pendapat ulama dengan alasannya masing-masing, penelitian nash-nash yang berhubungan dengan status zakat dalam bermacam-macam kekayaan, memperhatikan hikmah dan maksud Pembuat Syariat mewajibkan zakat, dan memperhatikan pula kebutuhan Islam dan ummmat Islam pada masa sekarang ini, Dr. Yusuf Qardhawi berpandapat bahwa harta hasil usaha, wajib terkena zakat, persyaratan satu tahun dan dikeluarkan pada waktu diterima. Harta hasil usaha tersebut berupa gaji pegawai, upah karyawan, pendapatan dokter, insinyur, advokat dan harta lain yang merupakan hasil dari profesi tetentu serta pendapatan yang diperoleh dari modal yang diinvestasikan di luar sektor perdagangan, seperti pada mobil, kapal, kapal terbang, percetakan, tempat-tempat hiburan dan lain-lain.
Kewajiban zakat uang atau sejenisnya pada saat diterima seorang muslim diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada tanaman dan buah-buahan pada waktu panen. Maka bila kita memungut dari petani meskipun sebagai penyewa sebanyak 1/10 atau 1/20 dari hasil tanaman atau buah-buahannya, mengapa kita tidak boleh memungut dari seorang pegawai, atau seorang dokter? Bila Allah menyatakan penghasilan yang diteriama seorang muslim dengan hasil yang dikeluarkan Allah dari tanah dalam satu ayat, "Hai orang-orang yang beriman keluarkannlah sebagian penghasilan kalian dan sebagian yang kami keluarkan untuk kalian dari tanah", mengapa kita membeda-bedakan dua masalah yang diatur Allah dalam satu aturan sedangkan kedua-duanya adalah rezeki dan ni'mat dari Allah?

Hikmah

Zakat atas penghasilan, baik dari upah, profesi maupun investasi sangat sesuai dengan tuntunan Islam yang menenamkan nilai-nilai kebaikan, kemauan berkoban, belas kasihan, dan suka memberi dalam jiwa seorang muslim. Zakat tersebut sesuai pula dengan kemanusiaan yang harus ada di dalam masyarakat, ikut merasakan beban orang lain, dan menanamkan nilai-nilai agama tersebut menjadi sifat pokok kepribadian seorang muslim. Allah berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertaqwa, "Dan sebagian dari apa yang Kami berikan, mereka nafkahkan". Untuk itu Nabi Muhammad SAW mewajibkan kepada setiap muslim mengorbankan sebagian hartanya, penghasilannya atau apa saja yang ia korbankan.
Bukhari meriwayatakan dari Abu Musa al-Asy'ari dari Nabi SAW, Beliau bersabda :
"Setiap muslim wajib bersedekah".
"Hai Nabi Allah bagaimana mereka yang tidak berpunya?" tanya para sahabat.
"Bekerjalah untuk mendapat sesuatu untuk dirinya., lalu bersedekah".
"Kalau tidak punya pekerjaan?"
"Tolong orang yang meminta pertolongan".
"Bagaimana bila tidak bisa?"
Beliau menjawab, "Kerjakan kebaikan dan tinggalkan kejelekan, hal itu merupakan sedekahnya".

Nishab

Zakat memang ditetapkan kepada siapa yang tergolong kaya. Hanya merekalah yang dapat memiliki harta lebih dari kebutuhan pokok hidup mereka. Persoalannya adalah berapakah nishab yang perlu ditetapkan atas zakat penghasilan?
Terdapat beberapa pendapat mengenai nishab zakat penghasilan. Berbagai pendapat tersebut bersandar kepada beberapa wajar banyaknya harta seseorang terkena zakat. Ada yang memperhitungkan kepada batas yang seolah-olah "minimal" dengan menisbatkan kepada "harta standar" yaitu sejumlah nishab untuk harta emas.
Muhammad Ghazali cenderung mengukurnya menurut ukuran tanaman dan buah-buahan. Siapa yang memiliki pendapatan tidak kurang dari pendapatan seorang petani yang mengeluarkan zakat, maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya. Artinya, barangsiapa yang memiliki pendapatan lebih dari lima wasaq atau 653 kg dari yang terendah nilainya yang dihasilkan tanah, seperti gandum, wajib berzakat.
Yusuf Qardhawi berpendapat lain. Beliau cenderung kepada pendapat yang menisbatkan nishab zakat penghasilan kepada nishab emas yaitu 85 gram karena kebanyakan penghasilan gaji berupa uang.

Menghitung Nishab

Orang-orang yang memliki profesi itu seringkali memperoleh dan menerima pendapatan mereka secara tidak teratur. Kadana-kadang setiap hari seperti pendapatan seorang dokter, kadang-kadang pada saat-saat tertentu seperti advokat, kontraktor, penjahit atu lainnya. Sebagian pekerja menerima upah mereka setiap minggu atau dua minggu. Dan kebanyakan pegawai menerima gaji mereka setiap bulan. Lalu bagaimana nishabnya dihitung?
Dalam hal ini dapat dua kemungkinan dilakukan, yaitu: Pertama, memberlakukan nishab dalam setiap julmah pendapatan atau pengahasilan yang diterima. Dengan demikian, penghasilan yang mencapai nishab sepeti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar para pegawai dan karyawan, serta pembayaran yang besar kepada golongan profesi, wajib kena zakat. Sedangkan yang tidak sampai nishab tidak terkena, Nishabnya adalah setara dengan penghasilan petani sekali panen. Zakat dikerluarkan sebelum penghasilan tersebut dipergunakan untuk berbagai keperluan.
Kemungkinan ini dapat dibenarkan karena membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji yang kecil dari kewajiban zakat dan membatasi zakat hanya pada pegawai atau karyawan golongan tinggi saja. Ini lebih mendekati kesamaan dan keadilan sosial. Di samping itu juga merupakan realisasi dari pendapat para sahabat dan ulama fiqih yang mengatakan bahwa pengasilan wajib, zakatnya pada saat diterima bila mencapai nishab.
Tetapi bila kita menetapkan nishab untuk setiap kali upah, gaji, atau pendapatan yang diterima berarti kita membebaskan kebanyakan golongan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali mencapai nishab. Sedangkan jika jumlah gaji tersebut dari satu waktu dikumpulkan beberapa kali kemungkinan akan mencapai nishab atau beberapa kali nishab.
Kedua, mengumpulkan (sisa pengeluaran) gaji atau penghasilan yang diterima berkali-kali itu dalam waktu tertentu. Kita menemukan ulama-ulama fiqih yang berpendapat seperti itu dalam kasus nishab pertambangan, bahwa hasil yang diterima dari waktu ke waktu akan saling melenekapi untuk mencapai nishab. Madzhab Hambali berpadapat bahwa hasil dari bermacam-macam janis tanaman dan buah-buahan selama satu tahun penuh dikumpulkan jadi satu untuk mencapai nishab sekalipun tempat tanaman tidak satu dan menghasilkan dua kali dalam satu tahun. Jika buah-buahan tersebut menghasilkan dua kali dalam setahun, maka hasil seluruhnya dikumpulkan untuk mencapai nishab, karena kedua penghasilan tersebut adalah buah-buahan yang dihasilkan dalam satu tahun, sama halnyaa dengan jagung yang berbuah dua kali.
Atas dasar ini, dapat dikatakan satu tahun meruapakan satu kesatuan menurut pandangan pembuat syari'at, begitu juga menurut ahli perpajakan modern. Oleh karena itu, ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat. Maka zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diabil dari kurun waktu satu tahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai nishab.
Penghasilan bersih ini tergambar dalam nilai simpanan (tabungan) dan nishabnya setara dengan nishab harta (uang) yaitu 85 gram emas.

Besar Zakat

Besarnya zakat penghasilan menurut beberapa ulama dibedakan menurut jenis penghasilannya. Pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan saja seperti pendapan pegawai dan golongan profesi yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka, maka besar zakat uang wajib dikeluarkan adalah 1/40 (25%) sesuai dengan keumuman nash yang mewajibkan zakat uang sebanyak jumlah tersebut. Hal ini juga sesuai dengan kaidah Islam yang menegaskan bahwa kesukaran dapat meringakan besar kewajiban.
Muawiyah dan Ibn Mas'ud telah momotong jumlah tertentu, berupa zakat, dari gaji para tentara dan para penerima gaji lainnya langsung di dalam kantor pembayaran gaji, juga sesuai dengan apa yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Pengqiyasan besarnya zakat penghasilan kepada pemberian atau gaji yang diberikan oleh Khalifah kepada tentaranya itu lebih tepat dari pengqiyasan keapada hasil petaninan. Sedangkan yang lebih tepat untuk diqiyaskan kepada pertanian adalah pendapatan dari gedung-gedung, pabrik-pabrik dan sejenisnya berupa modal-modal yang memberikan penhasilan, sedangkan modal tersebut tetap utuh.
Pendapatan yang diperoleh dari modal saja atau dari modal kerja, seperti penghasilan pabrik, gedung, percetakan, hotel, mobil, kapal terbang dan sebagainya zakatnya adalah 1/10 (10%) dari pendapatan bersih setelah biaya utang, kebutuhan-kebutuhan pokok, dan lain-lainnya dikeluarkan berdasarkan qiyas kepada hasil pertanian yang diairi tanpa onkgos tambahan.
Pengeluaran zakat dari penghasilan yang diperoleh dari investasi berbeda dengan zakat perdagangan. Penghitungan zakat perdagangan adalah berdasarkan besarnya modal beseta keuntungannya (berarti perkembangannya) atau kerugiannya (berarti penyusutannya) dan besarnya adalah 2,5%.

Beberapa contoh:

Seorang pegawai memiliki penghasilan per bulan Rp. 1.500.000,-. Bagaimanakah zakatnya? Jika harga beras per kilogram Rp. 1.300,- maka nishabnya (menurut zakat pertanian) adalah 653 kg x Rp 1.300,- = Rp 848.900,-. Maka penghasilan pegawai tersebut telah mencapai nishab. Zakat yang dikeluarkannya adalah = 2.5 % x Rp 1.500.00,- = Rp 37.500,-.

Seorang pegawai memiliki penghasilan per tahun Rp. 2.500.00,- Bagaimana zakatnya? Pada umumnya setahun para petani mengalami 3 kali panen dengan tingkat teknologi dan jenis bibit mutakhir. Berarti nisab per tahun = 3 x Rp 848.900 = Rp 2.546.700,- Berarti secara matematis penhasilannya belum mencapai nishab, meskipun sudah hampir mendekati. Ia belum terkena kewajiban zakat. Namun, ini bukan berarti ia tak dapat mengeluarkan sadaqah sebesar 2.5%, kurang atau lebih jika dikehendakinya sendiri dengan keikhlasan.

Seorang pegawai memiliki penghasilan Rp 250.000,- per bulan. Bagaimana zakatnya? Penghasilannya per tahun berarti Rp 250.000,- x 12 = Rp 3.000.00,- Ini melebihi nishab hasil pertanian per tahun. Zakatnya per bulan Rp. 250.000,- x 2,5% = Rp 6.250,-.

Seorang memiliki rumah kontrakan yang tiap bulannya mendapat uang sewa Rp. 1.000.000,- Biaya pemeliharaan Rp 50.000,- Berapa zakatnya? Penghasilan bersih = Rp 1.000.000,- - Rp 50.000,- = Rp 950.000,- berarti sampai nishab. Zakatnya 10% x Rp 950.000,- = Rp 95.000,-.

Seorang memiliki angkutan kota yang diperoleh dari kredit dengan cicilan Rp 500.000,- per bulan. Pendapatan setoran per bulan Rp 1.500.000,-. Biaya pemeliharaan dan nilai susut Rp.100.000,- per bulan. Berapa zakatnya? Penghasilan bersih Rp 1.500.000,- - Rp 100.00,- = Rp 1.400.000,- berarti melebihi nishab. Zakatnya 10% x Rp 1.400.000,- = Rp 140.000,-. Cicilan tidak dihitung pengeluaran karena pada hakekatnya merupakan harta yang disimpan dan nilai susutnya pun telah dikeluarkan.

Seorang memiliki penghasilan Rp 1.000.000,- per bulan dan pada tiap bulan berhasil menabung Rp. 250.000,-. Bagaimana zakatnya Karena mencapai nishab maka zakatnya 2.5% x Rp 1.000.000,- = Rp 25.000,- Harta tabungan yang terkumpul selama setahun Rp 3.000.000,-. Di awal tahun harta tersebut tidak terkena zakat. Namun jika uang tersebut melampaui batas setahun terkena zakat simpanan yang dinisbatkan kepada nishab emas 85 gram x Rp 25.000 = Rp 2.125.000,- Maka pada awal tahun kedua, penyimpanan uang tersebut terkena zakat 2,5% x Rp 3.000.000,- = Rp 75.000,-.