Software Penggabung dan Pemecah File Besar

salam blogger buat semuanya...
udh lama nh ga posting berlabel download lg, saya dapet hal yang bru yang bisa dibagiin buat temen2 blogger semuanya..
sebetulnya kali ini saya mw posting hal yang udh g aneh x y, udh bnyak org yang tau kali soal software ini, apalagi buat mereka yang suka download film gratis, pasti g lepas dari software yang namanya hjsplit.exe.
buat yang udh tau ataw blm, software ini adalah salah satu pelengkap buat yang suka download film2 gratis dan berukuran besar, karena terkadang kl film itu ukurannya di atas 300 MB suka di pecah menjadi beberapa bagian, ada yang jadi berformat 001, 002, 0**, atau ada juga yang jadi __1, __2, __*, dst.
nah software inilah yang jadi alat untuk memecah ataupun menggabungkan file film itu kembali menjadi satu bagian, caranya gampang dan software ini tidak perlu kita instal di komputer kita, cukup double klik aza software ini udh bisa kita gunakan.
cara manggunakannya :
1. kl mau menggabungkan file menjadi satu, nantinya kamu cuma tinggal klik aza "join", nanti tinggal browse z file mana yang mau digabungkan, cukup yang pertama z, karena yang lainnya akan tergabung dengan otomatis.
2. nah sekarang kalo mau mecah satu file menjadi beberapa bagian,nantinya kamu cuma tinggal klik z "split", truz sama aza kya yang diatas, tinggal browse dan pilih mau jadi berapa bagian file yang mau dipecah itu..
saya kira tips buat menggunakannya cukup segitu aza, selanjutnya kamu download aza nh softwarenya biar bisa langsung praktek,
download disini.
atau kalo pengen software yang lain tapi sama fungsinya tinggal download aza disni.

7000 SDM Baru Dibutuhkan Perbankan Syariah pada 2010

Perbankan syariah masih membutuhkan sekitar 7.000 sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan sekitar 15.000 SDM di tahun 2010. Hal ini diutarakan oleh wakil direktur SDM Bank Syariah Mandiri (BSM) , Eka B. Danuwirana, pada perhelatan Second (Shariah Economic Day) 2010 yang diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tanggal 3 Februari 2010 lalu.
Bank Indonesia menargetkan aset Rp97 trilyun untuk perbankan syariah pada tahun 2010. Tercatat Rp63,4 trilyun telah dibukukan oleh perbankan syariah pada November 2009. Dengan jumlah aset saat ini, perbankan syariah mampu menyerap sekitar 15 ribu SDM, sehingga, untuk mencapai target Rp97 trilyun masih dibutuhkan sekitar 7.000 SDM.
Mencari kandidat SDM untuk perbankan syariah bukanlah hal yang mudah. Setidaknya, ada empat kompetensi yang harus mereka miliki. Pertama, kompetensi inti. Perbankan syariah membutuhkan SDM yang memiliki pandangan dan keyakinan yang sesuai dengan visi dan misi perbankan syariah. Kedua, kompetensi perilaku. Yang diutamakan dari kompetensi ini ialah kemampuan SDM untuk bertindak efektif, memiliki semangat Islami, fleksibel dan memiliki jiwa ingin tahu yang tinggi. Ketiga, kompetensi fungsional. Kompetensi ini berbicara tentang background dan keahlian. SDM yang dibutuhkan ialah SDM yang memiliki dasar ekonomi syariah, operasi perbankan, administrasi keuangan, dan analisis keuangan. Yang terakhir ialah kompetensi manajerial. Dibutuhkan SDM yang mampu menjadi team leader, cepat menangkap perubahan dan mampu membangun hubungan dengan yang lain.
Fakta yang terjadi saat ini ialah banyaknya lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Namun, di sisi lain, industri perbankan syariah juga sulit untuk mendapatkan pegawai. Hal ini terjadi karena kurangnya kompetensi yang dimiliki lulusan perguruan tinggi saat ini. Oleh karena itu, lulusan bermutu dan berkompetensi ialah sebuah keharusan untuk bergabung di perbankan syariah. Hal ini dapat diasah selama masih berada di perguruan tinggi.

Sumber : ib.eramuslim.com

al-Musyarakah

Pengertian

· Menurut Hanafiyah syirkah adalah : Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.

· Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah : Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.

· Menurut Hanabilah : Berkumpul dalam berhak dan berbuat hukum.

· Sedangkan menurut Syafi‟iyah : Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap dua pihak atau lebih secara merata.

· Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis[7] musyarakah adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan tanggung jawab yang sama.

· Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk., al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda, namun dapat difahami intinya bahwa syirkah adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bersama.

Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12 yang artinya: dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka bersyarikat pada yang sepertiga itu. dan juga hadits

Nabi SAW yang berbunyi: Artinya : Saya yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati yang lain, maka aku keluar dari keduanya. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim.

Syarat musyarakah

Syarat umum

a. Jenis usaha fisik yang dilakukan dalam syirkah ini harus dapat diwakilkan kepada orang lain. Hal ini penting, karena dalam kenyataan seringkali satu partner mewakili perusahaan untuk melakukan dealing dengan perusahaan lain. Jika syarat ini tidak ada dalam jenis usaha, maka akan sulit menjalankan perusahaan dengan gesit.

b. Keuntungan yang didapat nanti dari hasil usaha yang harus diketahui dengan jelas. Masing-masing partner harus mengetahui saham keuntungannya, seperti 10% atau 20% misalnya.

c. Keuntungan harus disebar kepada semua partner.

Syarat khusus

a. Modal yang disetor harus berupa barang yang dihadirkan. Tidak diperbolehkan modal masih berupa utang atau uang yang tidak dapat dihadirkan ketika akad dilakukan. Tidak disyaratkan modal yang disetor oleh para partner itu dicampur satu sama lain, karena syirkah ini dapat diwujudkan dengan akad, dan bukan dengan modal.

b. Modal harus berupa uang kontan. Tidak diperbolehkan modal dalam bentuk harta yang tidak bergerak atau barang, karena barang-barang ini tidak dapat dijadikan ukuran sehingga akan menimbulkan persengketaan dikemudian hari karena keuntungan yang dihasilkannya juga menjadi tidak jelas proporsinya dengan modal yang disetor akibat sulitnya dinilai.

Rukun Musyarakah

Menurut kesepakatan ulama, rukun musyarakah adalah:

a. Ada pemegang saham;

b. Ada modal;

c. Ada proyek;

d. Ada ijab qabul.

Ketentuan-ketentuan musyarakah

a. Pernyataan ijab dan kabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukka kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad)

b. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum dan memperhatikan hal-hal berikut: Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.

c. Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dilakukan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindakan seperti: Menggabungkan dana proyek dengan dana pribadi Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa izin pemilik modal lainnya Memberi pinjaman kepada pihak lain;

d. Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau digantikan oleh pihak lain;

e. Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerja sama apabila: Menarik diri dari perserikatan Meninggal dunia Menjadi tidak cakap hukum.

f. Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama

g. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan kontribusi modal

Aplikasi Musyarakah Pada Bank Syari‟ah

Pada bank syari‟ah terdapat berbagai bentuk produk/usaha yang didasarkan kepada ketentuan-ketentuan syari‟ah, antara lain musyarakah.

a) Bentuk-bentuk usaha musyarakah pada Bank Syari‟ah

Di antara bentuk usaha musyarakah pada bank syari‟ah, antara lain:

a. Pada Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari‟ah :

1) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil

2) Memberikan fasilitas letter of credit (L/C)

3) Penyertaan modal dengan perusahaan atau bank yang lain yang juga mendasarkan usahanya kepada prinsip-prinsip syari’ah.

b. Pada BPR Berdasarkan Prinsip-prinsip Syari‟ah :

A. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, ini dapat berupa :

a. Tabungan

b. Deposito berjangka.

B. Melakukan penyaluran dana melalui bagi hasil.

Bagi Hasil Tak Menarik ?

Kemitraan bisnis musyarakah, termasuk didalamnya kemitraan mudharabah, pada awalnya dianggap sebagai tulang punggung operasi perbankan syariah, namun dalam prakteknya, jenis pembiayaan bagi hasil ini hanya merupakan sebagian kecil dari pembiayaan yang diberikan oleh bank-bank Islam diseluruh dunia dengan beberapa pengecualian.

Seorang peneliti tamu Oxford Centre for Islamic Studies mengidentifikasikan lima hal yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil ini tidak menarik bagi bank Islam. Pertama, sumber dana bank Islam yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan system bagi hasil. Bagi mereka, lebih menguntungkan kredit dengan bunga yang sudah pasti jumlahnya. Pada umumnya, yang banyak meminta pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang tingkat keuntungannya rendah.

Ketiga, pengusaha dengan bisnis berisiko rendah juga enggan meminta pembiayaan bagi hasil. Kebanyakan yang memilih model bagi hasil ini adalah mereka yang berbisnis dengan risiko tinggi termasuk misalnya mereka yang baru terjun ke dunia bisnis. Keempat, untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi, pengusaha akan terdorong membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimistis. Hal ini akan menyulitkan bank dikemudian hari.

Kelima, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal pada pembukuan yang sebenarnya, si pengusaha membukukan keuntungan yang besar. Dalam istilah ekonomi, maslah kedua, ketiga, dan keempat disebut adverse selection, sedangkan masalah kelima disebut moral hazard.

Karenanya, tidak heran bila pembiayaan bagi hasil ini kurang diminati bank-bank Islam. Di Faisal Finance Institusion Turki, misalnya pembiayaan bagi hasil hanya 0,7% dari total kreditnya (per 1993). Di Bank Islam Malaysia Berhad hanya 1,7% (1994);di Dubai Islamic Bank 3,7% (1992). Tentu saja ada pengecualian. Di Sudan pembiayaan bagi hasil mencapai 62% dari total kreditnya, begitu pula di Iran yang mencapai 49%.

Untuk mengurangi moral hazard dan adverse selection, penelitian itu menyarankan pembiayaan bagi hasil berjangka pendek, misalnya berdasarkan job order purchase contract atau factoring.

Peneliti tamu berkebangsaan Indonesia ini lebih lanjut menjelaskan bahwa keberhasilan Sudan dan Iran menerapkan pembiayaan bagi hasil disebabkan adanya dua factor yang tidak dimiliki Negara lain. Pertama, struktur masyarakat yang paternalistis dengan peran sentral ulama sebagai tokoh sentral menyebabkan adverse selection dan moral hazard tidak terjadi atau paling tidak di tekan seminimal mungkin. Kedua, adanya wilayatul hisba, yaitu semacam perangkat polisi ekonom lengkap dengan pengadilan niaga yang segera menyelesaikan perselisihan bisnis.

Indonesia patut mendapatkan acungan jempol dalam keberaniannya menerapkan pembiayaan bagi hasil. Dalam usianya yang masih sangat muda, Bank Muammalat telah menyaurkan 15% dari pembiayaannya dengan system bagi hasil, bahkan pada akhir 2000 mencapai 51% dari pembiayaannya disalurkan dengan system bagi hasil. Patut dicatat, perubahan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kredit program pemerintah berbentuk KKPA ( Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) yang harus disalurkan secara bagi hasil. Kedua, banyak yang dikonversi menjadi pembiayaan bagi hasil. Padahal Indonesia, paling tidak di perkotaan, tidak memiliki kedua factor yang dimiliki Sudan dan Iran.

Untuk membantu bank-bank Islam menemukan pola standar pembiayaan bagi hasil, Accunting & Auditing Organization for Islamic Financial Institutions yang berkedudukan di Bahrain telah menerbitkan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAKS). SAKS nomor 3 untuk pembiayaan mudharabah dan SAKS nomor 4 untuk pembiayaan musyarakah.

Beberapa masalah ikhtilaf dalam fikih distandarisasi dalam SAKS. Misalnya, dalam SAKS 3, modal dapat berbentuk uang atau asset lain yang harus dinyatakan dalam nilai setara uang (butir 1/2/3). Bank diizinkan untuk meminta jaminan, dalam artian si pengusaha dengan jaminan itu akan bertanggung jawab bila terjadi kerugian yang diakibatkan kelalaiannya atau akibat ia melanggar syarat yang disepakati bersama (butir 2/3).

Adanya jaminan ini tentunya dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard. SAKS juga memudarkan citra seakan-akan pembiayaan bagi hasil selalu berjangka panjang. Bukankah pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin banyak transaksi musyarakah dan mudharaabah berjangka pendek? Dalam beberap riwayat diceritakan adanya musyarakah dan mudharabah untuk satu perjalanan bisnis saja, misalnya ke negri Syam, dan mereka langsung berbagi hasil sepulangnya dari perjalanan bisnis itu.

Afzalurrahman menulis, “Ketika Khadijah mendapati Muhammad memperoleh keuntungan yang sangat besar, yang belum pernah dialami oleh siapa pun sebelumnya, Khadijah memberikan bagian keuntungan yang lebih besar dibanding yang telah mereka sepakati sebelumnnya.” (Muhammad: Encyclopedia of Seera, II/3/1).

Referensi : Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.

Ketika Riba Menjadi Bunga

Dalam kosa kata bahasa Inggris, riba biasanya diterjemahkan sebagai usury, sedangkan bunga diterjemahkan sebagi interest. Dilarangnya riba oleh agama-agama samawi, tidak ada yang membantah. Setidaknya, itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Lihatlah dalam perjanjian lama (Leviticus [Imamat] 25:36-37, Deuteronomy [Ulangan] 23:19, Exodus [Keluaran] 22:25), juga dalam perjanjian baru (Luke [Lukas] 6: 34-35).

Sampai pada abad ke 13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja atau hokum Canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke 13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Bacon, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima sesuatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.”

Secara perlahan tapi pasti, pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahab Raja Henry VIII. Pada zaman itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga). Ketika raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsung lama. Ketika Edward wafat, ia digantikan oleh ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang. Lima puluh tahun kemudian, kekuatan Eropa yang sedang demam membolehkan bunga uang, mencapai tanah air kita dengan bendera VOC. Awalnya, dengan dalih berdagang. Setelah berjalan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, bunga tidak.

Baru belakangan ini, seorang guru besar di Columbia University, Frederic Mishkin (1992), menelaah secara kritis teori pembungaan uang. Ia menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata-mata ditentukan oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian, mengapa perekonomian sekarang penuh riba.?

Mishkin menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan, nun di Inggris sana, sejumlah ekonom Cambridge, antara lain Marshall dan Pigou, menulis teori yang berbeda. Menurut mereka, uang mempunyai dua fungsi, yaitu untuk melakukan transaksi dan salah satu cara menyimpan nilai. Fungsi kedua inilah yang merupakan cikal bakal persoalan kita. Dalam menyimpan nilai hartanya, seseorang mempunyai pilihan pribadi, apakah berbentuk tanah, surat berharga, uang, dan lain-lain. Tentunya, risiko dan seberapa produktif asset itu yang menjadi pertimbangan.

Keynes, yang juga ekonom Cambridge, menjabarkan lebih lanjut bahwa pilihan pribadi itu ditentukan oleh 3 motif : motif untuk memenuhi kebutuhan transaksi, untuk berspekulasi, dan untuk berjaga-jaga. Akan tetapi, Keynes membuat kekeliruan fatal dengan mengelompokan semua harta non uang menjadi nonmonetary assets, yang diukur dengan tingkat bunga, padahal uang juga diukur dengan tingkat bunga. Atau secara implicit, Keynes mengasumsikan adanya substitusi sempurna antara uang dan –misalnya—obligasi. Dalam istilah ekonomi, kurva indiferen akan mengalami corner solution, pegang uan seluruhnya atau obligasi seluruhnya.

Inilah sebenarnya yang dikritik oleh murid-muridnya sendiri. Baumol (1952) dan juga Tobin ( 1956) mengatakan bahwa seseorang dapat saja memegang uang dan obligasi sekaligus. Pada saat uang habis, ia akan mencairkan obligasinya. Apa motofnya? Lagi-lagi bunga. Sampai disini, kita melihat dominasi pemikiran ekonom Inggris. Baru dikemudian hari ada seorang ekonom Amerika yang membela Fisher, yaitu Milton Friedman. Bagi pengikut Friedman, teori Keynes dianggap tidak mempunyai landasan ekonomi yang kuat karena tidak meminimalkan sesuatu atau memaksimalkan sesuatu, padahal itulah dasar ilmu ekonomi. Guru besar ekonomi Harvard University, Robert Barro, bahkan menempatkan pemikiran Keynes dalam bab terakhir dari buku teks makroekonomi yang ditulisnya pada 1996, sekadar sejarang pemikiran ekonomi.

Bagaimana pandangan ulama Islam terhadap bunga? Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Lihat saja definisi ribanya Ibnu Qoyyim yang membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba yang terselubung (al-khafi). Lihat pula definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perapanjangan waktu (an-nasi’ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif.

Celakanya, praktik pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi’ah pada zaman Jahiliah. Bagaimana tidak? Riba nasi’ah pada zaman jahiliah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mempu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan. Masih jugakah kita membela prektik pembungaan uang?

Referensi : Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.

al-Ijarah

Pengertian Ijarah

Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.

Rukun dan Syarat Ijarah

a. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :

· Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.

· Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).

· Sighat yaitu ijab dan qabul.

b. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :

· Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.

· Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.

· Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.

· Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.


2. Ketentuan Objek Ijarah :

a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.

b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.

c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.

d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.

f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.

g. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.

h. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.

i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.


Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia

Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.

Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding. Positioning baru bank syariah sebagai perbankan yang saling menguntungkan kedua belah pihak, aspek diferensiasi dengan keunggulan kompetitif dengan produk dan skema yang beragam, transparans, kompeten dalam keuangan dan beretika, teknologi informasi yang selalu up-date dan user friendly, serta adanya ahli investasi keuangan syariah yang memadai. Sedangkan pada aspek branding adalah “bank syariah lebih dari sekedar bank atau beyond banking”.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung (media cetak, elektronik, online/web-site), yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

Sumber : www.bi.go.id