Software Penggabung dan Pemecah File Besar
Seorang peneliti tamu Oxford Centre for Islamic Studies mengidentifikasikan lima hal yang menyebabkan pembiayaan bagi hasil ini tidak menarik bagi bank Islam. Pertama, sumber dana bank Islam yang sebagian besar berjangka pendek tidak dapat digunakan untuk pembiayaan bagi hasil yang biasanya berjangka panjang. Kedua, pengusaha dengan bisnis yang memiliki tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menggunakan system bagi hasil. Bagi mereka, lebih menguntungkan kredit dengan bunga yang sudah pasti jumlahnya. Pada umumnya, yang banyak meminta pembiayaan bagi hasil adalah mereka yang tingkat keuntungannya rendah.
Ketiga, pengusaha dengan bisnis berisiko rendah juga enggan meminta pembiayaan bagi hasil. Kebanyakan yang memilih model bagi hasil ini adalah mereka yang berbisnis dengan risiko tinggi termasuk misalnya mereka yang baru terjun ke dunia bisnis. Keempat, untuk meyakinkan bank bahwa proyeknya akan memberikan keuntungan tinggi, pengusaha akan terdorong membuat proyeksi bisnis yang terlalu optimistis. Hal ini akan menyulitkan bank dikemudian hari.
Kelima, banyak pengusaha yang mempunyai dua pembukuan, pembukuan yang diberikan kepada bank adalah yang tingkat keuntungannya kecil sehingga porsi keuntungan yang harus diberikan kepada bank juga kecil padahal pada pembukuan yang sebenarnya, si pengusaha membukukan keuntungan yang besar. Dalam istilah ekonomi, maslah kedua, ketiga, dan keempat disebut adverse selection, sedangkan masalah kelima disebut moral hazard.
Karenanya, tidak heran bila pembiayaan bagi hasil ini kurang diminati bank-bank Islam. Di Faisal Finance Institusion Turki, misalnya pembiayaan bagi hasil hanya 0,7% dari total kreditnya (per 1993). Di Bank Islam Malaysia Berhad hanya 1,7% (1994);di Dubai Islamic Bank 3,7% (1992). Tentu saja ada pengecualian. Di Sudan pembiayaan bagi hasil mencapai 62% dari total kreditnya, begitu pula di Iran yang mencapai 49%.
Untuk mengurangi moral hazard dan adverse selection, penelitian itu menyarankan pembiayaan bagi hasil berjangka pendek, misalnya berdasarkan job order purchase contract atau factoring.
Peneliti tamu berkebangsaan Indonesia ini lebih lanjut menjelaskan bahwa keberhasilan Sudan dan Iran menerapkan pembiayaan bagi hasil disebabkan adanya dua factor yang tidak dimiliki Negara lain. Pertama, struktur masyarakat yang paternalistis dengan peran sentral ulama sebagai tokoh sentral menyebabkan adverse selection dan moral hazard tidak terjadi atau paling tidak di tekan seminimal mungkin. Kedua, adanya wilayatul hisba, yaitu semacam perangkat polisi ekonom lengkap dengan pengadilan niaga yang segera menyelesaikan perselisihan bisnis.
Indonesia patut mendapatkan acungan jempol dalam keberaniannya menerapkan pembiayaan bagi hasil. Dalam usianya yang masih sangat muda, Bank Muammalat telah menyaurkan 15% dari pembiayaannya dengan system bagi hasil, bahkan pada akhir 2000 mencapai 51% dari pembiayaannya disalurkan dengan system bagi hasil. Patut dicatat, perubahan ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, adanya kredit program pemerintah berbentuk KKPA ( Kredit Koperasi Primer untuk Anggota) yang harus disalurkan secara bagi hasil. Kedua, banyak yang dikonversi menjadi pembiayaan bagi hasil. Padahal Indonesia, paling tidak di perkotaan, tidak memiliki kedua factor yang dimiliki Sudan dan Iran.
Untuk membantu bank-bank Islam menemukan pola standar pembiayaan bagi hasil, Accunting & Auditing Organization for Islamic Financial Institutions yang berkedudukan di Bahrain telah menerbitkan Standar Akuntansi Keuangan Syariah (SAKS). SAKS nomor 3 untuk pembiayaan mudharabah dan SAKS nomor 4 untuk pembiayaan musyarakah.
Beberapa masalah ikhtilaf dalam fikih distandarisasi dalam SAKS. Misalnya, dalam SAKS 3, modal dapat berbentuk uang atau asset lain yang harus dinyatakan dalam nilai setara uang (butir 1/2/3). Bank diizinkan untuk meminta jaminan, dalam artian si pengusaha dengan jaminan itu akan bertanggung jawab bila terjadi kerugian yang diakibatkan kelalaiannya atau akibat ia melanggar syarat yang disepakati bersama (butir 2/3).
Adanya jaminan ini tentunya dapat mengurangi masalah adverse selection dan moral hazard. SAKS juga memudarkan citra seakan-akan pembiayaan bagi hasil selalu berjangka panjang. Bukankah pada zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin banyak transaksi musyarakah dan mudharaabah berjangka pendek? Dalam beberap riwayat diceritakan adanya musyarakah dan mudharabah untuk satu perjalanan bisnis saja, misalnya ke negri Syam, dan mereka langsung berbagi hasil sepulangnya dari perjalanan bisnis itu.
Afzalurrahman menulis, “Ketika Khadijah mendapati Muhammad memperoleh keuntungan yang sangat besar, yang belum pernah dialami oleh siapa pun sebelumnya, Khadijah memberikan bagian keuntungan yang lebih besar dibanding yang telah mereka sepakati sebelumnnya.” (Muhammad: Encyclopedia of Seera, II/3/1).
Referensi : Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.
Sampai pada abad ke 13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja atau hokum Canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke 13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Bacon, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima sesuatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.”
Secara perlahan tapi pasti, pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahab Raja Henry VIII. Pada zaman itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga). Ketika raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsung lama. Ketika Edward wafat, ia digantikan oleh ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang. Lima puluh tahun kemudian, kekuatan Eropa yang sedang demam membolehkan bunga uang, mencapai tanah air kita dengan bendera VOC. Awalnya, dengan dalih berdagang. Setelah berjalan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, bunga tidak.
Baru belakangan ini, seorang guru besar di Columbia University, Frederic Mishkin (1992), menelaah secara kritis teori pembungaan uang. Ia menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata-mata ditentukan oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian, mengapa perekonomian sekarang penuh riba.?
Mishkin menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan, nun di Inggris sana, sejumlah ekonom Cambridge, antara lain Marshall dan Pigou, menulis teori yang berbeda. Menurut mereka, uang mempunyai dua fungsi, yaitu untuk melakukan transaksi dan salah satu cara menyimpan nilai. Fungsi kedua inilah yang merupakan cikal bakal persoalan kita. Dalam menyimpan nilai hartanya, seseorang mempunyai pilihan pribadi, apakah berbentuk tanah, surat berharga, uang, dan lain-lain. Tentunya, risiko dan seberapa produktif asset itu yang menjadi pertimbangan.
Keynes, yang juga ekonom Cambridge, menjabarkan lebih lanjut bahwa pilihan pribadi itu ditentukan oleh 3 motif : motif untuk memenuhi kebutuhan transaksi, untuk berspekulasi, dan untuk berjaga-jaga. Akan tetapi, Keynes membuat kekeliruan fatal dengan mengelompokan semua harta non uang menjadi nonmonetary assets, yang diukur dengan tingkat bunga, padahal uang juga diukur dengan tingkat bunga. Atau secara implicit, Keynes mengasumsikan adanya substitusi sempurna antara uang dan –misalnya—obligasi. Dalam istilah ekonomi, kurva indiferen akan mengalami corner solution, pegang uan seluruhnya atau obligasi seluruhnya.
Inilah sebenarnya yang dikritik oleh murid-muridnya sendiri. Baumol (1952) dan juga Tobin ( 1956) mengatakan bahwa seseorang dapat saja memegang uang dan obligasi sekaligus. Pada saat uang habis, ia akan mencairkan obligasinya. Apa motofnya? Lagi-lagi bunga. Sampai disini, kita melihat dominasi pemikiran ekonom Inggris. Baru dikemudian hari ada seorang ekonom Amerika yang membela Fisher, yaitu Milton Friedman. Bagi pengikut Friedman, teori Keynes dianggap tidak mempunyai landasan ekonomi yang kuat karena tidak meminimalkan sesuatu atau memaksimalkan sesuatu, padahal itulah dasar ilmu ekonomi. Guru besar ekonomi Harvard University, Robert Barro, bahkan menempatkan pemikiran Keynes dalam bab terakhir dari buku teks makroekonomi yang ditulisnya pada 1996, sekadar sejarang pemikiran ekonomi.
Bagaimana pandangan ulama Islam terhadap bunga? Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Lihat saja definisi ribanya Ibnu Qoyyim yang membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba yang terselubung (al-khafi). Lihat pula definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perapanjangan waktu (an-nasi’ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif.
Celakanya, praktik pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi’ah pada zaman Jahiliah. Bagaimana tidak? Riba nasi’ah pada zaman jahiliah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mempu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan. Masih jugakah kita membela prektik pembungaan uang?
Referensi : Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.
Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa. Menurut Sayyid Sabiq, Ijarah adalah suatu jenis akad yang mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Dengan demikian pada hakikatnya ijarah adalah penjualan manfaat yaitu pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Rukun dan Syarat Ijarah
a. Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
· Pelaku akad, yaitu mustajir (penyewa), adalah pihak yang menyewa aset dan mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
· Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
· Sighat yaitu ijab dan qabul.
b. Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan-ketentuan hukum Islam, sebagai berikut :
· Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.
· Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.
· Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.
· Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual harganya akan ditentukan pada saat kontrak berakhir.
2. Ketentuan Objek Ijarah :
a. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.
b. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
c. Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
d. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
e. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
f. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
g. Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.
h. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
i. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ekonomi Syariah sebagai sistem Ekonomi yang membawa keberkahan Dunia dan Akhirat....