Ketika Riba Menjadi Bunga

Dalam kosa kata bahasa Inggris, riba biasanya diterjemahkan sebagai usury, sedangkan bunga diterjemahkan sebagi interest. Dilarangnya riba oleh agama-agama samawi, tidak ada yang membantah. Setidaknya, itulah yang ditulis dalam Taurat dan Injil. Lihatlah dalam perjanjian lama (Leviticus [Imamat] 25:36-37, Deuteronomy [Ulangan] 23:19, Exodus [Keluaran] 22:25), juga dalam perjanjian baru (Luke [Lukas] 6: 34-35).

Sampai pada abad ke 13, ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan, riba dilarang oleh gereja atau hokum Canon. Akan tetapi, pada akhir abad ke 13, pengaruh gereja ortodoks mulai melemah dan orang mulai kompromi dengan riba. Bacon, seorang tokoh saat itu, menulis dalam buku Discourse on Usury, “karena kebutuhannya, manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima sesuatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan.”

Secara perlahan tapi pasti, pelarangan riba di Eropa dihilangkan. Di Inggris, pelarangan itu dicabut pada 1545, saat pemerintahab Raja Henry VIII. Pada zaman itulah, istilah usury (riba) diganti dengan istilah interest (bunga). Ketika raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsung lama. Ketika Edward wafat, ia digantikan oleh ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang. Lima puluh tahun kemudian, kekuatan Eropa yang sedang demam membolehkan bunga uang, mencapai tanah air kita dengan bendera VOC. Awalnya, dengan dalih berdagang. Setelah berjalan ratusan tahun, terciptalah citra sampai saat ini bahwa riba tidak sama dengan bunga. Riba dilarang, bunga tidak.

Baru belakangan ini, seorang guru besar di Columbia University, Frederic Mishkin (1992), menelaah secara kritis teori pembungaan uang. Ia menjelaskan bahwa ekonom Amerika bernama Irving Fisher (1911) berkesimpulan bahwa permintaan akan uang semata-mata ditentukan oleh besarnya pendapatan seseorang, sedangkan tingkat suku bunga tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadap permintaan uang. Motif orang memegang uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksinya saja. Jika demikian, mengapa perekonomian sekarang penuh riba.?

Mishkin menjelaskan bahwa pada saat yang bersamaan, nun di Inggris sana, sejumlah ekonom Cambridge, antara lain Marshall dan Pigou, menulis teori yang berbeda. Menurut mereka, uang mempunyai dua fungsi, yaitu untuk melakukan transaksi dan salah satu cara menyimpan nilai. Fungsi kedua inilah yang merupakan cikal bakal persoalan kita. Dalam menyimpan nilai hartanya, seseorang mempunyai pilihan pribadi, apakah berbentuk tanah, surat berharga, uang, dan lain-lain. Tentunya, risiko dan seberapa produktif asset itu yang menjadi pertimbangan.

Keynes, yang juga ekonom Cambridge, menjabarkan lebih lanjut bahwa pilihan pribadi itu ditentukan oleh 3 motif : motif untuk memenuhi kebutuhan transaksi, untuk berspekulasi, dan untuk berjaga-jaga. Akan tetapi, Keynes membuat kekeliruan fatal dengan mengelompokan semua harta non uang menjadi nonmonetary assets, yang diukur dengan tingkat bunga, padahal uang juga diukur dengan tingkat bunga. Atau secara implicit, Keynes mengasumsikan adanya substitusi sempurna antara uang dan –misalnya—obligasi. Dalam istilah ekonomi, kurva indiferen akan mengalami corner solution, pegang uan seluruhnya atau obligasi seluruhnya.

Inilah sebenarnya yang dikritik oleh murid-muridnya sendiri. Baumol (1952) dan juga Tobin ( 1956) mengatakan bahwa seseorang dapat saja memegang uang dan obligasi sekaligus. Pada saat uang habis, ia akan mencairkan obligasinya. Apa motofnya? Lagi-lagi bunga. Sampai disini, kita melihat dominasi pemikiran ekonom Inggris. Baru dikemudian hari ada seorang ekonom Amerika yang membela Fisher, yaitu Milton Friedman. Bagi pengikut Friedman, teori Keynes dianggap tidak mempunyai landasan ekonomi yang kuat karena tidak meminimalkan sesuatu atau memaksimalkan sesuatu, padahal itulah dasar ilmu ekonomi. Guru besar ekonomi Harvard University, Robert Barro, bahkan menempatkan pemikiran Keynes dalam bab terakhir dari buku teks makroekonomi yang ditulisnya pada 1996, sekadar sejarang pemikiran ekonomi.

Bagaimana pandangan ulama Islam terhadap bunga? Bunga uang merupakan bagian dari teori riba. Lihat saja definisi ribanya Ibnu Qoyyim yang membedakan antara riba terang-terangan (al-jali) dan riba yang terselubung (al-khafi). Lihat pula definisi fiqih yang menjelaskan riba karena perapanjangan waktu (an-nasi’ah) dan riba dalam pertukaran barang sejenis (al-fadl). Bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Jadi, teori pembungaan uang hanya merupakan bagian dari teori riba yang jauh lebih komprehensif.

Celakanya, praktik pembungaan uang oleh bank lebih parah dari praktik riba nasi’ah pada zaman Jahiliah. Bagaimana tidak? Riba nasi’ah pada zaman jahiliah baru dikenakan pada saat peminjam tidak mempu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba, padahal bank konvensional telah mengenakan bunga sehari setelah uang dipinjamkan. Masih jugakah kita membela prektik pembungaan uang?

Referensi : Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer.

0 Response to "Ketika Riba Menjadi Bunga"

Posting Komentar