Rancang Bangun Ekonomi Islam

Ekonomi Islam dapat di ibaratkan satu bangunan yang terdiri dari landasan, tiang, dan atap. Landasannya terdiri atas lima komponen, yaitu tauhid, adil, nubuwwa

dan ma’ad (return). Tauhid bermakna ke-Maha Esa-an Allah sebagai pencipta langit dan bumi, pemilik semua yang ada di alam semesta, dan pemberi rizki, serta penguasa atas segalanya. Pengingkaran terhadap ketauhidan Allah akan membuat manusia merasa dirinya hebat, semuanya bisa diatur dengan harta mereka.

Implikasi logis dari menyadari keterbatasan manusia, yang kaya bisa menjadi miskin, dan sebaliknya, serta yang lemah bisa berkuasa ataupun sebaliknya, itu semua adalah sikap adil. Adil bukanlah sama rata atau sama rasa, melainkan tidak berbuat dholim. Kadangkala sulit untuk mencari terjemahan oprasional dari nilai tauhid dan adil ini, apalagi dalam praktek ekonomi yang terus berkembang dengan dinamis. Mungkin ini pula sebabnya beberapa kalangan menilai ekonomi islam merupakan sesuatu yang hanya dapat berjalan bila kita semua telah menjadi malaikat. Oleh karena itu kita butuh contoh yang membuktikan bahwa konsep ekonomi islam adalah konsep untuk manusia, bukan untuk malaikat, serta mampu di jalankan oleh manusia. Nubuwwa adalah jawaban akan kebutuhan ini. Rosulullah memberi contoh bagaimana melakukan kegiatan ekonomi yang membawa kesuksesan di dunia dan akhirat.

Argument penolakan berikutnya adalah ‘kita kan bukan nabi’. Jadi, konsep ekonomi islam tidak relevan untuk kita. Ini pun keliru karena ternyata konsep ini sukses dijalankan oleh mereka yang bukan nabi. Meskipun konsep ini dapat dijalankan oleh individu tetapi akan benar-benar menjadi kuat jika dijalankan secara berjama’ah, atau dalam istilah ekonominya, kekuatan: ekonomi makro yang kuat akan menjadi dasar ekonomi makro yang kuat. Disini perlunya pemimpin untuk menciptakan kondisi makro ekonomi yang kondusif bagi berkembangnya mikro ekonomi.

Nah untuk menciptakan ekonomi yang kuat tentu harus ada motivasi yang kuat pula bagi para pelakunya. Itu sebabnya, ekonomi islam adalah ekonomi yang mencari laba. Imam Ghazali, misalnya, secara eksplisit mengatakan bahwa motivasi para pedagang bukan hanya semata-mata mencari keuntungan di dunia, melainkan dalam ekonomi islam lebih penting kepada keuntungan di akhirat.salah satu implikasinya adalah sedekah yang tidak akan membuat rugi bahkan akan mendapatkan kebaikan yang nyata di dunai dan di akhirat.

Jika kita sudah membicarakan soal landasan, kini masalah tiangnya. Tiang-tiang perekonomian islam ada tiga. Pertama, pengakuan akan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama (syirkah), dan kepemilikan Negara. Hal ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi saja.

Kedua adalah seperti dalam kaidah ushul fiqih, yaitu al ashlu fil muamalah al-ibahah, yang berarti kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syari’ah. Ekonomi adalah persoalan yang selalu berkembang dengan dinamika. Oleh karena itu, selalu diperlukan pemikiran baru untuk memecahkan masalah ekonomi.

Merujuk pada zaman Rosulullah dan para shahabatnya tentu sangat bermanfaat, namun ijtihad di bidang ekonomi diperlukan.seperti sabda Rosulullah,”kamu lebih tahu urusan duniamu”. Artinya untuk urusan dunia kita bisa berijtihad selama itu tidak keluar dari ajaran al_Qur’an dan al-Hadits.

Ketiga, social justice. Dalam konsep ekonomi islam, bahkan rezeki halal yang kita dapat dengan jerih payah itu diyakini ada hak orang lain. Jadi, bukan karena berbaik hati memberikan donasi, namun ia bukan hak kita, ia hak orang lain.

Sumber: Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer